Rabu, 22 Desember 2010

Gunung Arjuna kelihatan dari dalam jendela kamar adik. Rumah ini, di lantai empat indah sekali, cuacanya pun cerah, suasana hati juga cerah, alhamdullilah adik pun masih bisa melihat dan mengingat jelas wajah abang, terima kasih tuhan…”

Penggalan surat diatas menggambarkan di mana kau sangat merindukan abangmu ini. Empat bulan aku berada ditempat ini, dusun dimana orangnya sibuk mengangkat sekop dan kalau matahari pagi muncul, akan menampakan orang-orang yang berjalan beriringan dengan topi yang bercirikan kekuningan, nampak seekor garuda di topi kuningnya itu, sesekali tenggelam karena kabut tebal di pegunungan ini. Matahari pagi itu, abang enggan menulis,tak bisa membalas suratmu yang kuterima sejak seminggu yang lalu. Kini, aku harus bekerja sebagai guru di dusun ini. Dusun para priyayi dadakan, sibuk membangun sarangnya dengan cek “ada dana dari bumi”. Daripada abang hanya membaca buku dan terhanyut suratmu, kakak pikir lebih baik,memang seharusnya dituliskan dibanyak kertas tumpukan, yang kau sendiri akan menyadari bahwa abangmu juga merindukanmu.

Hari sabtu ini, memang sekolah Dusun Tiga memang libur. Peraturan disini memang aneh, seharusnya sekolah tetap berjalan. Karena pesolek itu, anak-anak binaanku harus bekerja keras untuk membeli buku dan keperluan lain untuk menyambung baca tulisnya. Terkadang aku sebagai guru sering miris melihat anak-anak binaanku menyebar menelusuri pesolek itu. Ada yang membawa kantung kresek, ada yang membawa lilin, ada pula yang bermodalkan badanya yang besar untuk mengangkat beban, berharap ada lebih sisa percikan dana dari tuhan hari ini. Sungguh, mengherankan hati.

Aku pun pagi ini, hanya membolak-balikan buku yang dikirim oleh adikku. Di halaman seratus enam belas dikatakan “Mengapa pengetahuan yang indah ini tak membawa ketenangan bagi umat manusia?”. Kalau kau tahu adikku, abang berterimakasih atas buku ini, Einstein telah mengajarakan abang melalui buku yang kau berikan ini. Setidaknya otak abang harus berfikir lebih untuk menggunakan pedagogik ini secara arif. Mencerdaskan anak-anak di “Dusun priyayi dadakan ini”.

Di rumah tempat abang “mondok” dilantai dua terlihat pembangunan yang terus masif. Abang sering terganggu dengan truk-truk dan alat berat yang lewat di depan pondokku ini. Namun, abang suka pondok ini “dusun priyayi dadakan ini” mengajarkan abangmu ini untuk menjadi manusia yang harus melihat keadaan lingkungannya lebih dekat. Sekiranya, ada sesuatu yang abang ceritakan pada anak murid senin nanti. Terlebih kepadamu.

Oleh karena itu setelah pukul 08.00 WIB nanti, abang dan anak Pak Karmin Salim namanya akan mengantarkan abang jalan-jalan menggunakan sepeda mengelilingi pesolek itu. Sepeda itu, sengaja ia pinjam dari semalam dari tetangganya. Maklum, di rumah Pak Karmin tempat abang mondok ini tak ada sepeda. Pondok ini hanya ada banyak makanan dan minuman para pekerja untuk mereklame pesolek itu disimpan. Jadi, abangmu tidak gratis untuk menggunakan sepeda ini. Balasannya, abang harus mengirim makanan dan minuman itu di camp para pekerja bertopi kuning.

Baru di halaman seratus sembilan puluh enam, ketika abang bercakap-cakap dengan Umar Kayam melalui bukunya “Para Priyayi”, Salim memanggilku untuk segera turun dari lantai dua kamarku. Akupun bergegas kedepan menuju jendela kamar kanan dengan melambaikan tangan sambil membalas panggilan salim, “Ya abang akan segera turun, tunggu sebentar. Abang membereskan buku-buku abang yang berantakan di kamar”, Sahutku. Ternyata benar, salim telah siap dengan dua sepeda menunggu kakiku untuk mengayuhnya. Kami pun langsung siap mengelilingi pesolek itu hari ini.

Lima belas menit sudah, Jalur sepeda yang kami lewati cukup membuat myelin kami merekam banyak gambaran mengenai pesolek ini. Beberapa kali aku melihat murid binaanku berada disekitar pesolek ini. Benar, mereka semua sudah mulai bekerja dari pukul tujuh sebelum matahari terbit dari timur untuk menampakan gunung kembar disebelah baratnya. Konon, disitulah letak keindahan pesolek ini. Sehingga banyak manusia-manusia yang berjejer di bambu-bambu yang dibuat sebaris sedemikian rupa untuk menjadi pijakan manusia agar matanya melihat view rona itu. Adikku, gunung Arjunamu mendapat pesaing dari pesolek ini.

Setelah hampir empat jam aku ditemani Salim untuk melihat pesolek itu, akhirnya kami pun beristirahat di Surau. Gemericik air yang deras keluar dari lubang bambu. Dengan tidak sabar air itu menghantam anak manusia mulai dari mulut sampai mata kaki, bukti terhadap hidup manusia tergantung pada Tuhan. Siang itu, aku merasa hidup kembali. abangmu telah menemukan konsep kesempurnaan hidup. Namun, satu pertanyaan, kapan terakhir aku bersua dengan merindukan Tuhan?. Adikku, ketahuilah abang merindukanmu juga.

Dari surau itu pula, terlihat jelas, camp para pekerja. Yang aku ketahui dari beberapa orang, pekerja itu berasal dari “Dusun Priyayi Dadakan” ini. Mereka semua bekerja sebagai buruh kasar di camp itu. Itulah, mereka yang setiap matahari terbit mereka berjalan beriringan membawa sekop, lengkap dengan topi kuning dan boot -nya. Ya, dari hasil bekerja sebagai buruh kasar itu, mereka dapat membangun sarangnya menjadi setengah tembok, semi permanen, kokoh. Disana pula kelak aku akan mengantarkan makanan dan minumannya.

Tapi apakah kau tahu adikku, yang mengesankan serta pelajaran berharga bagiku. Abang bertemu dengan seorang paman gaek yang abang temui di lab camp pekerja itu. Lab-nya tidak terlalu luas hanya saja banyak alat-alat untuk uji coba permeable soil serta tabung-tabung reaksi yang besar. Rambutnya yang botak ditengah, menghiasi rambutnya yang sebenarnya gondrong dan kacamata tebalnya menambah aksesoris wajah oval yang sudah keriput itu, sepertinya sangar. Dari beberapa pertanyaan yang abang ajukan, niatnya ingin tahu alat-alat yang ada di lab-nya. Abang merasa di caci-maki oleh pertanyaan ilmiah yang tak bisa dijawab. Mekanika tanah, perkolasi dan lainya yang sulit untuk mengingatnya. Abang malu sebagai pemuda yang harusnya lebih banyak membaca buku darinya. Terlebih abang, Guru di Dusun Priyayi Dadakan ini.

Dari satu jam abang bicara di Lab-nya itu, dia telah menitipkan pesan. Dimana pesan itu bisa kita ambil maknanya.

“Ketahuilah, saya titipkan bangsa ini, bangsa barat telah meminjamkan dana kepada kita bangsa budak ini dengan uang kertasnya, tapi mereka tidak mau dana ataupun uang kertas itu kita bayar dengan uang kertas lagi, mereka ingin kita membayar dengan hasil tambang dan bumi kita, oleh karena itu manusia bangsa budak ini harus pintar-pintar menjaga alam kelak kedepan”

Itulah kiranya yang ia titipkan kepada abangmu ini. Sehingga cerahnya hatimu karena gunung Arjuna tak sebanding galaunya hati abang karena pesan lelaki gaek itu. Karena, Dusun Priyayi Dadakan Ini. Sehingga muncul pertanyaan, apakah Dusun Priyayi ini dengan orang-orang di dalamnya kebanyakan menjadi buruh kasar dengan uang bayaran untuk membangun sarangnya menjadi semi permanen telah mendapat cek terimakasih, bertuliskan “Dengan kemajuan di Barat, kami telah mencicipi hasil tambang dan bumi ini dari kalian para priyayi dadakan”. Ah, Dusun Priyayi dadakan yang malang.



*Ditengah seisme yang membuat pikiran ini lelah membaca, datanglah sebuah kata-kata yang menginspirasi untuk menuliskan saja apa yang telah saya baca. Trima kasih teman, di keluarga yang tak direncanakan itu. Satu karya lagi telah dibuat.(Rianto)

Posted on Rabu, Desember 22, 2010 by Rianto

No comments

Selasa, 26 Oktober 2010

Saya menggugat sang Liar!!

Karenamu aku menjadi manusia tak berguna

Hey !!! kenapa kau terlalu Liar

Sehingga aku benci melihat pendulummu

Memang aku anak kecil yang bermain di pantai

Ketika mataku terpana hal-hal kecil..

Seperti Karang, pasir, menutupi mataku

yang mulai sudah tak jelas melihat..

Lautan itu….

Aku mencintai sang liar!!!

Tapi cintaku hanya sebatas “Cinta Geosentris”

Dimana aku mencintaimu penuh dengan dogma,

"ketidakbergunaan" aku merasa mencintaimu.

Terpengaruh oleh meandernya iman.

Tak ada pembuktiaan…..

Bahkan, ketika aku membuktikan cintaku dengan indahnya science ..

Kau malah menganggap aku orang gila, bahkan kau menyakitiku dengan "penjara itu"

Ciptaan nalarku, telah menjadi ilmu bukti!!

Dimana kau dan aku dapat melihat indahnya tingkatan langit itu..

Tapi kau terlalu liar..

Hingga akhirnya kau menyadari bahwa aku telah mencintaimu..

“Heliosentriskah?”, kau lirih menjawabnya

Sampai sang liar membuat mataku gelap , benar-benar tak berguna "aku"

Karena aku anak kecil yang tak pernah lagi melihat..

Lautan…

Bahkan hal-hal kecil, seperti karang, pasir itu..

Ingatlah!!!

aku membuktikan cinta dengan melawan dogma itu..

bahkan ketidakbergunaan ini.. aku melawannya!!!

Aku tidak mau mencintaimu seperti manusia biasa lainnya

hanya bermodalkan iman...

Aku mencintaimu secara heliosentris…..

inspiration Galileo Galilei

"ketika saya membaca tingkahlaku manusia sore itu ternyata "Geosentris" yang ia pertunjukan, yaitu ketika dia memaksakan sang liar "waktu" untuk mengatakan "kau tidak berguna",, sehingga bertebarlah ketidakpercayaan itu". kemunafikan lebih jelasnya telah menggerogoti manusia pecinta geosentris ini. Butuh pembuktian "cinta heliosentris" untuk mengembalikan kepercayaan seseorang (Ternyata aku berguna di dunia ini!!!).Lalu tindakan mana yang anda pilih ketika sang liar menghampiri anda dalam ruang "ketidakbergunaan"? Geosentris atau heliosentriskah?

Posted on Selasa, Oktober 26, 2010 by Rianto

No comments

Sabtu, 02 Oktober 2010

Bagi Seluruh.. CALON ANGGOTA BARU 2010 harap gabung Group Facebook OCAB. Group:OCAB LKM UNJ 2010. Rundown PPKM, Public Speaking Day, Pujian Bahasaku, Sharing PKM. RUANG REDAKSI SELALU MENYUGUHKAN INSPIRASI.

(corat-coret di LKM)

Setelah salat Isya, saya melihat jam menunjukan 22.40 WIB. Jam dinding itu, seperti saksi betapa banyak lorong waktu, jam, menit, detik, telah saya lewatkan di kota ini, Jakarta. Melihat kaca di sebuah gubuk penalaran, membuat saya tertegun. Rambut saya terlalu gondrong, menandakan bahwa saya sudah hampir satu tahun, bahkan dua tahun berada ditempat ini. Sebab tahun kemarin, saya ingat bahwa rambut ini gondrong. Saya merasa ada di lorong waktu setahun yang lalu. Tahun lalu yang agak suram, tak mengenal apa-apa, bingung ngisi KRS, takut observasi untuk kreatis, dipilih jadi ketua Expo, tak berkarya pula. Saya yakin tempo bermain disini.

Mengapa sang filsuf banyak mengatakan waktu itu liar, tak bisa dikendalikan. Saya pun teringat waktu acara pelatihan program kreativitas Universitas, FE, maupun di ruang serbaguna FIS. Disana, saya banyak melihat maba bingung tentang apa itu PKM, LKM, Proposal, apapun yang berkaitan dengan hal-hal yang baru. Kebingungan itu identik dengan bengong, susah mengeluarkan pendapat, pura-pura baca saat diskusi ataupun kebalikannya, banyak nanya, banyak mengeluarkan pendapat dan aktif menjawab pertanyaan. Jelas tempo yang liar bermain disini, saya mengenang.

Mahasiswa yang saya temui itu, merupakan penjelmaan saya ketika menjadi maba 2008. Ketika lorong waktu membawa saya ke zaman 2008, pastinya saya sama dengan maba itu. Ruang dan waktu telah membawa saya dalam derasnya mistika tentang makna perubahan. Goethe menjelaskan manusia yang tidak belajar dari masa tiga ribu tahun yang lalu, merupakan manusia yang hidup tidak menggunakan akalnya. Kata –kata Goethe menjadi membuat bulu kuduk saya merinding. Sebab, adakah Jawaban perubahan yang saya dapatkan setelah melewati ruang dan waktu selama dua tahun?.**

Ngorek Alienasi***

Buku Alienasi Richard Schacht menepuk dada dan otak saya untuk bangun dari mistika. Terang sekali, menjelaskan bagaimana seorang Filsuf sekalibaer Imanuel Kant pun dapat mengalami alienasi. Dimana akal sebenarnya. Tak sehebat filsuf yang dijelaskan Richard, saya pun mengalami alienasi. Jelasnnya, Alienasi ruang dan waktu.

Saya merasakan dingin ditangan saya, ketika jari mulai bermain di keyboard hitam dan mouse ini. Keyboard, mouse yang selama ini menemani saya dalam berkarya. Menulis esai, ngetik makalah, mengerjakan tugas, sampai main game –Plants and Zombie-. Tak sangka sekarang, saya bakal punya dua adik dalam gubuk penalaran ini. Saya merasa males, bahkan takut, kalau-kalau saya tidak mencontohkan yang baik. Takut kalau ada yang tanya, “Ka-Ka, tolong ajarin saya bikin kontemplasi dong?”. Saya pastinya malu kalau jawab, “he,he, Ka-Ka gak bisa de, sama yang laen aja ya”, sambil tersenyum merasa bersalah. “Jelas tempo bermain disini” hati saya bilang.

Terkadang saya malu dengan menggelontornya sertifikat bernama saya. Prestasi, segala macam anugerah yang mengikuti hidup ini membuat saya berfikir kembali lagi di zaman maba. Jelas maba tadi adalah saya. Saya masih bengong, masih susah mengeluarkan pendapat. Sehingga satu pertanyaan alienasi muncul, “Siapakah saya sebenarnya, sekarang ini?”. Si egoiskah.

Untuk melihat siapa saya, sekali lagi melihat kaca. Ya, ternyata saya merasa dibawa zaman maba, jelas rambut saya tetap gondrong. Tapi rambut saya lebih panjang dari tahun kemarin. Tapi apakah sebanding dengan panjangnya ilmu pengetahuan yang saya dapat. Saya rasa tidak. Disnilah kunci mengapa saya ngorek alienasi dalam gubuk penalaran ini. Kita semua dapat mengalami alienasi dalam gubuk penalaran. Manja, malas diskusi, malas menulis, merasa paling bodoh, egois, pastinya membayangi.

Benar kiranya ketika dikatakan “bersumpah tuk menjadi lebih baik, tapi ruang dan waktu tak membantu –SID- untuk menjawab alienasi itu. Manusia akan banyak menyalahkan ruang dan waktu itu sendiri. Dengan penyesalan tinggi, kita memang harus “jujur spontan” bahwa tak sedikitpun perubahan yang didapat. Disinilah saya berani bilang pastinya, alasan untuk menutup alienasi itu adalah membayar dengan kata maaf dan menyibukan dengan perubahan diri sendiri. Sehingga lupa siapakah diri ini?. Jelaslah ruang dan waktu telah menghakimi kita dengan penyesalan.

Pencipta Encouragement

Percaya atau tidak,ruang dan waktu terasa mengikat penyesalan kita sebagai makhluk yang gak dablek-dablek banget sebenarnya. Beberapa kali, saya balik lagi tulisan Rhenald Kasali mengenai encouragement. Saya merasa menjadi pembaca akut encouragement. Sebab tulisan itu menjawab alienasi ini. Pesannya pun ringan, seharusnya kita menjadi pemicu orang untuk melakukan perubahan. Bangsa ini banyak dipenuhi oleh orang-orang perusak daripada pembangun.

Manusia tidak bisa memecahkan permasalahan sendiri. Memang kita mempunyai otak untuk jalan di track masing-masing. Tapi apakah kita siap ketika ada orang yang ingin dibantu ataupun membonceng kita untuk menuju track yang lebih baik, tak berbatu, tak licin, dan tidak berbahaya. Siapa tahu orang yang kita bantu adalah orang yang bakal meneruskan track mimpi kita. Mario Teguh menjelaskan, orang besar pasti mempunyai pekerjaan besar pula untuk dilanjutkan oleh orang lain. Lebih jelasYip_Man mendengungkan, “tak selamanya saya menjadi yang terkuat, selalu menang, karena manusia itu pasti tua, oleh karena itu fungsinya regenarasi”.

Sekarang, pukul 03.05 WIB. Saya teringat adik-adik saya, yang mungkin sekarang sedang terlelap tidur menikmati ruang dan waktunya. Terkadang saya menghakiminya dengan sedikit “kompor”, agak berlebihan. Mungkin dengan sedikit menyiksa diri dengan begadang, dapat membayar itu. Melalui tulisan ini, penulis mengajak kembali kawannya yang merasa tidak mempunyai peran. Sikap tidak ketidakberdayaan, merasa bersalah, takut menjadi Ka-Ka, seharusnya dileburkan melalui encouragement. Sehingga waktu yang liar-tak bisa dikendalikan, dapat dikukung dengan saling membangun.

Sayangnya saya hanya bisa menulis. Jadi tulisan ini saja yang bisa saya berikan sebagai mental encouragement. Meski tak sehebat bom di Sumber Artha, Kali malang. Pun, tak segeger bentrokan di Jakarta selatan. Semoga bisa menjadi pemicu mental encouragement sekaligus sebagai kritikan saya sendiri yang kaku ketika harus belajar untuk membimbing orang lain. Gubug penalaran sepertinya memperhatikan gerak saya, yang mulai tidak fokus lagi dalam mengetik. Sepertinya cukup, cukup laper, haus, ngantuk. Saya ingat, sore nanti harus belajar untuk mengabdi pada peradaban. Ya, inilah saya. terkadang lupa, terkadang ingat suatu kepercayaan yang telah diberikan orang lain.

Renungan malam ini "mendapatkan kepercayaan sangatlah mudah, tapi mengembalikan kepercayaan orang lain yang telah hilang, sangatlah sulit. Saya tutup tulisan ini dengan kata-kata Tan Malaka. “Akuilah dengan hati putih bersih bahwa kalian mampu dan sanggup belajar dari barat, tapi kamu jangan jadi peniru Barat. Melainkan murid dari Timur yang cerdas yang memenuhi kemauan alam dan seterusnya melebihi guru-guru di Barat, sanggup dan mampukah kalian menjadi murid dari timur yang cerdas?”. Ruang dan waktu menjadi dialektika.

*Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan seseorang, serta meragukan kata maaf yang terkikis. Harapannya, ketika kepompong retak, keluarlah kupu-kupu bersayap indah, seperti apa yang dikatakan Wallace di tanah kita. Begitulah metamorfosa. Dialektika kehidupan, kupu-kupu bersayap indah, bawalah teman-temanku untuk bisa menyatukan indahnya sebuah perbedaan karakter. Ditengah meradangnya Egoisme Aku, Kau, ataupun Dia.

(Rianto Anarki)

** kalo ada yang tau jawabannya kirim ke 085693507910 (bisa berupa saran, kritik, ataupun kata2 encouragement)

***Di akhir Abad 20, Konsep Alienasi dan keterasingan telah digunakan banyak Filsuf, Ilmuwan sosial, teolog, seniman, dan kritikus untuk menggambarkan sejenis eksistensi yang telah menjadi hal yang umum di dunia modern. Eksistensi semacam ini seringkali dipandang sebagai kehidupan yang tidak diinginkan. Dalam istilah umumnya, orang yang teralienasi biasanya digambarkan sebagai orang yang entah bagaimana tercerabut dari diri “sejati”-nya, budayanya, alam, orang lain,kehidupan politik, bahkan Tuhan.

(Avant-Propos :Prawacana dari Penerbit buku Alienasi, Richard Schacht)

Tambahan,,, bukunya ada di Loker Buku LKM (minjem boleh asal baca di LKM, kalo dibawa pulang gak boleh), Selamat Membaca, Terima Kasih.

Posted on Sabtu, Oktober 02, 2010 by Rianto

No comments

Kamis, 22 Juli 2010

Penampang berlogo Jakarta  itu menyapa dengan kata”selamat datang di Kepulauan Pari”.senyum warga menyambut pula penumpang yang turun dari kapal. Namun senyum itu sepertinya menutupi kegundahan hati mereka.

Sekitar dua jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai Pulau Pari. Kapal nelayan  yang bersandar, nelayan menjemur rumput laut,menjahit jaring, keramahan senyum warga sekitar pun menyambut. fenomena itu siap menemani, ketika kaki melangkah di daratan yang air birunya sangat menyihir mata. Ada suatu yang menarik di pulau biru ini, pulau ini hanya mempunyai satu jalan yang bagus, jalan itu dinamakan Jalan Pari Utama. Jalan sepanjang lima km ini digunakan untuk warga untuk bersepedah. Maka tidak heran ketika mata dimanjakan riangnya anak-anak bersepeda  sepanjang hari.

Ketika adzan mengumandang untuk memanggil umat muslim untuk beribadat shalat jum’at. Dari bangunan masjid ini dengan air wudhu yang asin, penulis lihat masyarakat begitu khusyu menjalani ibadah. Memang tidak disangka, dari Masjid  ini pula batas kegundahaan warga sekitar menjelma Keadaan tenteram Pulau  mulai membuka baju identitas keterbalikan makna  sebagai pulau kesejahteraan bagi warga sekitar. Karena warga Pulau Pari, diselimuti kegundahaan. “dari sekian banyak permasalahan yang terjadi  di Pulau Pari, permasalahan dengan PT.Bumi Raya mengenai hak tanah dan mendirikan  perumahan merupakan permasalahan yang mencemaskan warga,” terang Pak Ujang Jabar selaku ketua Rw 03.

 

Sekitar 1.500 warga Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, diselimuti kegundahaan. Sebab, tempat tinggal mereka berada di atas tanah milik PT Bumi Raya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang wisata. Memang pihak P.T Bumi raya baik dengan menanam pohon di lahan-lahan agar Pulau Pari menjadi indah dan hasilnya bisa diambil oleh warga.namun ada saja keusilan yang terjadi.”Bahkan ada warga yang dilarang untuk membangun WC,” gusar  nahkoda kapal transportasi Muara Angke-Pulau Pari yang juga tinggal di Pulau Pari.

Secara hukum tanah itu memang milik PT.Bumi Raya. Pak ujang pun mengakuinya Tanah itu memang dahulu milik warga pulau tidung yang sudah dibebaskan oleh PT.Bumi Raya.Karena mungkin ada select di PT bumi raya karena moneter, tanah itu  tidak diurus sehingga tahun 1998/1999 warga kembali lagi. Ditambah perkembangan rumput laut di Pulau Pari lagi pesat sehingga menjadi pendorong back to camp.

 

Warga sepakat untuk membayar

Perusahaan Terbatas itu menguasai sekitar 80 persen dari 43 hektar luas pulau.Pada umumnya, warga yang tinggal di pulau tersebut merupakan warga asli yang sebelumnya tanahnya sudah dibeli. Namun, lantaran lahan tersebut tak kunjung dimanfaatkan PT Bumi raya, maka warga kembali mendirikan bangunan di kawasan itu. Aktivitas tersebut sudah berlangsung sejak 23 tahun silam.selain itu,ada juga masalah tanah itu di jual tanpa sepengetahuan warga.

Kegundahan warga karena akan adanya pengusiran dari tanah tempat tinggal yang  telah dimiliki oleh P.T.Bumi Raya membuat warga mempunyai solusi yang ditawarkan kepada pihak P.T Bumi Raya itu sendiri. warga siap membayar tanah yang ditempati. Warga sekitar bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan ini walaupun harus membayar tanah mereka dengan cara kredit atau dicicil akan mereka penuhi, asal  tidak diusir dari tempat tinggal yang selama ini tempat berteduh.

 

Pemerintah kabupaten Administrasi Kepulauan seribu menjadi penengah perdebatan tanah ini. Sudiman Royadi memaparkan,”pemerintah menjadi penengah antar PT.Bumi Raya dan warga Pulau Pari”. Kasubag kelautan  sekretariat Kabupaten Administrasi Kep.Seribu ini menjelaskan jalanya perundingan. Sehingga win solution dapat ditemukan. Dalam rapat yamg diadakan,  pihak Bumi Raya membolehkan warga mendirikan bangunan agar tidak melebihi 200 m tiap warga. Pihak warga pun siap membayar atau menganti rugi tanah yang ditempati warga.

Jalan Meander  Pulau ini

Beda atap beda rumah. Tak pernah terusik permasalahan yang dimiliki di Pulau Pari. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI)  pusat penelitian Oseanografi tidak memiliki permasalahan dengan P.T Bumi Raya. Secara hukum, mempunyai kekuatan. LIPI memiliki luas 10% dari keseluruhan luas Kepulauan Pari. Pun diperuntukan Penelitian disana.

Wilayah Kepulauan Seribu seluas 108.000 Ha, sebagian telah ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK. Menteri Pertanian No. 736/MENTAN/X/1982. Zonasi Taman Nasional ini, ditetapkan sebagai berikut: Zona I, II, dan III merupakan daerah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan dalam bentuk apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian.”Pulau Pari termasuk pulau yang dijadikan sebagai tempat penelitian dan keunikannya jarang dimiliki pulau lain”,pungkas Pak Sam salah satu peneliti di Pulau Pari sejak masih kuliah sampai sekarang.

Masa depan pulau ini menurut  buku “Mengenal Lebih Dekat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2008).”. Pola pengembangan pembangunan sebelah utara yang meliputi sekitar Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dengan kondisi kualitas perairan laut yang masih bersih, jernih,dan kaya akan habitat terumbu karang dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari ekslusif. Ini menandakan Pulau Pari mempunyai Grand desain untuk membuat pulau ini menjadi tempat pariwisata modern. Kebijakan sepertinya akan lebih dipriotaskan kepada pariwisata dan budi daya laut pulau Pari termasuk kedalamnyaPemerintah Administrasi Kepulauan seribu menargetkan Pulau pari ini menjadi pulau andalan kedua setelah Untung Jawa. Pemukiman warga dengan mendirikan Home Stay, kuliner untuk menarik wisatawan yang pada akhirnya akan menambah pendapatan warga. Dengan ulikan kreatifitas warga dalam menjamu wisatawan, dengan adanya pernak-pernik dan kerajinan masyarakat sehingga menjadi daya tarik tersendiri.”Apalagi kalau pulau ini benar-benar menjadi Riset Marine Center akan menambah keunikan”.ungkap Pak Sudiman yang penulis temui di Gedung Widya Loka Jln.Sunter Permai I Jakarta Utara. Namun permasalahan kepemilikan lahan menjadi  jalan meander pengembangan itu..

Masyarakat menjadi ujung tombak dalam pelestarian lingkungan yang ada di pulau Pari. Toh jadi atau tidaknya Pulau Pari menjadi tempat wisata yang modern, membutuhkan masyarakat sekitar yang menjadi keunikan tersendiri. Tahun 2010 LIPI berencana akan melakukan pelatihan budi daya kepiting. Pengembangan potensi kepiting akan melibatkan  warga sekitar. Dengan diberi pendidikan budi daya, harapannya akan menambah income warga Pulau Pari. Pun budi daya ini akan menambah keunikan Pulau ini.

Permasalahan masyarakat Pulau Pari menjadi bayang myopic strategi pemukiman global yang dilakukan oleh PBB menuju tahun 2000 (Global Strategy for Settlement), yang diadopsi dengan suara bulat oleh majelis umum PBB, memanfaatkan dimensi Hak Asasi Manusia tentang perumahan sebagai basis untuk mengartikulasikan  langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh pemukiman bagi semua orang pada akhir akhir milenium kedua. Pun  Freud Harrisond mengatakan”sumber krisis ekonomi yang paling utama adalah adanya praktik monopoli tanah dan spekulasi tanah.

 

 

 

 

 

 

Posted on Kamis, Juli 22, 2010 by Rianto

No comments

Judul Buku  : BACALAH!

Penulis         : Suherman, M. Si

Penerbit      : MQS PUBLISHING

Ukuran        : xii + 152 halaman; 15 x 23 cm


Mahaguru pembawa peradaban di dunia telah menggambarkan dimana buku menjadi teman duduk. Cobalah buku, bacalah mataku, bacalah kepribadianku melaluimu. Semenjak turunya ayat pertama yaitu iqra, telah membawa tradisi lisan ke tradisi tulis yang membawa pelita dalam kegelapan. Seprtinya buku telah membawa indikator peradaban dunia dimana terciptanya tulisan-tulisan.

Sehingga kesepakatan sampai hari ini, buku menjadi frame peradaban, perpustakaan-perpustakaan Islam yang berkembang pada waktu itu menandakan pula perkembangan Islam yang menjadi motor penggerak peradaban.

…Hal itu tumbuh dan dan berkembang atas dorongan tradisi intelektual yang menonjol dalam sejarah perkemabangan ilmu pengetahuan dikalangan umat islam, yakni penerjemahan, penulisan kitab, polemic intelektual, perdebatan, dialog, ulasan, pensyarahan, da sebagainya (hal 10)..


Ulama- ulama terdahulu merupakan mahaguru peradaban yanag tidak pernah terlepas dari aktivitas membaca dan menulis. Sehingga tidak heran, mereka dikatakan sebafgai klutu buku. Ssebab, buku merupakan gudang ilmu pengetahuan disanalah mereka bisa berdialog dengan ulama-ulam terdahulunya.

Belajar dari Mahaguru Peradaban

Dalam buku “bacalah” karya Suherman, Msi ini, memberikan sketsa mahaguru peradaban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Mulai dari perkembangan islam, ulama ataupun cendikiawan islam, serta mahaguru peradaban yang sukses karena membaca. Abu Abdullah al-A’rabi sebagi contoh an dimana ia sangat dekat dengan buku. Ia terkenal suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan kepada tamu yang datang ke rumahnya.

..”Kata pelayanku, tadi dirumahmu tidak ada siapa-siapa. Tapi, mengapa anda bilann ada tamu, dan anda akan kesini setelah menemani mereka?, Apa maksudmu” Tanya Abu Ayub. Abu Abdulah menjawab dengan membacakan syair. Kami punya temna-teman duduk dan kami tak pernah bosan berbicara dengan mereka, mereka bisa dipercaya saat aku ada di rumah maupun sedang pergi, mereka membeiku ilmu, kepintaran, pendiidkan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan perlakuan buruk, aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tanganya jika kamu bilang mereka mati, kamu tidak bohong dan jika kamu bilang mereka hidup, kamu juga tidak berdusta (hal 30).

Para ideologi, para pemimpin, dan negara kontemporer dijadikan bukti autentik abad 18 sampai abad 20. Masing-masing diwakili oleh Karl Marx, Imam Khoemeini, Mahatma Gandhi, Hasanal-Banna, Barack Obama, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Penulis disini mencoba memberikan contoh para mahaguru peradaban nasional yang membuktikannya dengan baca, menulis, dan berkarya. Keadaan para mahaguru ini seperti apa yang dikatakan Thomas Jefferson “aku tidak bisa hidup tanpa buku”.

Konteks Keindonesiaan

Tradisi para pembesar bangsa ini maupun mahaguru peradaban dunia telah membuktikan dengan semangat membaca, diskusi, maupun menulisnya. Namun, keadaan konteks keindonesiaan kekinian memberikan keadan terbalik masa lalu. Disinlah penulis mencoba menggeliatkan kemabali insan indoensia untuk membuktikn kualitasnya dengan menciptakan paradigm kritis melalui membaca. Penulis pun memberikan beberapa premikirannya tentang menghidupkan kembali semangat membaca Mahaguru Peradaban. Yaitu dengan kesadaran, cita-cita, ilmu pengetahuan, tekad.

Ditengah kelesuan membaca di Indonesia buku ini hadir dengan penutup kesaksian para kaum cendikiawan dan budyawan. Dalam rangkaian esai kritis, mereka mencoba memberikan solusi kelur dari permasalahan kelesuan ini. Mulai adari pertanyaaan Taupiq ismail “kenapa orang Indonesia, sedikit, sangat sedikit, luar biasa sedikit membaca buku?. Tragedi nol buku ini semoga menjadi penyulut api para generasi sekarang untuk terus membangkitkan semangat membaca para mahaguru peradaban. Tak ada salahnya ketika telah membaca resensi ini, kita mulai menjadikan buku sebagi teman dekat. “Yuk kita membaca”

Posted on Kamis, Juli 22, 2010 by Rianto

No comments