Kamis, 22 Juli 2010

Penampang berlogo Jakarta  itu menyapa dengan kata”selamat datang di Kepulauan Pari”.senyum warga menyambut pula penumpang yang turun dari kapal. Namun senyum itu sepertinya menutupi kegundahan hati mereka.

Sekitar dua jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai Pulau Pari. Kapal nelayan  yang bersandar, nelayan menjemur rumput laut,menjahit jaring, keramahan senyum warga sekitar pun menyambut. fenomena itu siap menemani, ketika kaki melangkah di daratan yang air birunya sangat menyihir mata. Ada suatu yang menarik di pulau biru ini, pulau ini hanya mempunyai satu jalan yang bagus, jalan itu dinamakan Jalan Pari Utama. Jalan sepanjang lima km ini digunakan untuk warga untuk bersepedah. Maka tidak heran ketika mata dimanjakan riangnya anak-anak bersepeda  sepanjang hari.

Ketika adzan mengumandang untuk memanggil umat muslim untuk beribadat shalat jum’at. Dari bangunan masjid ini dengan air wudhu yang asin, penulis lihat masyarakat begitu khusyu menjalani ibadah. Memang tidak disangka, dari Masjid  ini pula batas kegundahaan warga sekitar menjelma Keadaan tenteram Pulau  mulai membuka baju identitas keterbalikan makna  sebagai pulau kesejahteraan bagi warga sekitar. Karena warga Pulau Pari, diselimuti kegundahaan. “dari sekian banyak permasalahan yang terjadi  di Pulau Pari, permasalahan dengan PT.Bumi Raya mengenai hak tanah dan mendirikan  perumahan merupakan permasalahan yang mencemaskan warga,” terang Pak Ujang Jabar selaku ketua Rw 03.

 

Sekitar 1.500 warga Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, diselimuti kegundahaan. Sebab, tempat tinggal mereka berada di atas tanah milik PT Bumi Raya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang wisata. Memang pihak P.T Bumi raya baik dengan menanam pohon di lahan-lahan agar Pulau Pari menjadi indah dan hasilnya bisa diambil oleh warga.namun ada saja keusilan yang terjadi.”Bahkan ada warga yang dilarang untuk membangun WC,” gusar  nahkoda kapal transportasi Muara Angke-Pulau Pari yang juga tinggal di Pulau Pari.

Secara hukum tanah itu memang milik PT.Bumi Raya. Pak ujang pun mengakuinya Tanah itu memang dahulu milik warga pulau tidung yang sudah dibebaskan oleh PT.Bumi Raya.Karena mungkin ada select di PT bumi raya karena moneter, tanah itu  tidak diurus sehingga tahun 1998/1999 warga kembali lagi. Ditambah perkembangan rumput laut di Pulau Pari lagi pesat sehingga menjadi pendorong back to camp.

 

Warga sepakat untuk membayar

Perusahaan Terbatas itu menguasai sekitar 80 persen dari 43 hektar luas pulau.Pada umumnya, warga yang tinggal di pulau tersebut merupakan warga asli yang sebelumnya tanahnya sudah dibeli. Namun, lantaran lahan tersebut tak kunjung dimanfaatkan PT Bumi raya, maka warga kembali mendirikan bangunan di kawasan itu. Aktivitas tersebut sudah berlangsung sejak 23 tahun silam.selain itu,ada juga masalah tanah itu di jual tanpa sepengetahuan warga.

Kegundahan warga karena akan adanya pengusiran dari tanah tempat tinggal yang  telah dimiliki oleh P.T.Bumi Raya membuat warga mempunyai solusi yang ditawarkan kepada pihak P.T Bumi Raya itu sendiri. warga siap membayar tanah yang ditempati. Warga sekitar bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan ini walaupun harus membayar tanah mereka dengan cara kredit atau dicicil akan mereka penuhi, asal  tidak diusir dari tempat tinggal yang selama ini tempat berteduh.

 

Pemerintah kabupaten Administrasi Kepulauan seribu menjadi penengah perdebatan tanah ini. Sudiman Royadi memaparkan,”pemerintah menjadi penengah antar PT.Bumi Raya dan warga Pulau Pari”. Kasubag kelautan  sekretariat Kabupaten Administrasi Kep.Seribu ini menjelaskan jalanya perundingan. Sehingga win solution dapat ditemukan. Dalam rapat yamg diadakan,  pihak Bumi Raya membolehkan warga mendirikan bangunan agar tidak melebihi 200 m tiap warga. Pihak warga pun siap membayar atau menganti rugi tanah yang ditempati warga.

Jalan Meander  Pulau ini

Beda atap beda rumah. Tak pernah terusik permasalahan yang dimiliki di Pulau Pari. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI)  pusat penelitian Oseanografi tidak memiliki permasalahan dengan P.T Bumi Raya. Secara hukum, mempunyai kekuatan. LIPI memiliki luas 10% dari keseluruhan luas Kepulauan Pari. Pun diperuntukan Penelitian disana.

Wilayah Kepulauan Seribu seluas 108.000 Ha, sebagian telah ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK. Menteri Pertanian No. 736/MENTAN/X/1982. Zonasi Taman Nasional ini, ditetapkan sebagai berikut: Zona I, II, dan III merupakan daerah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan dalam bentuk apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian.”Pulau Pari termasuk pulau yang dijadikan sebagai tempat penelitian dan keunikannya jarang dimiliki pulau lain”,pungkas Pak Sam salah satu peneliti di Pulau Pari sejak masih kuliah sampai sekarang.

Masa depan pulau ini menurut  buku “Mengenal Lebih Dekat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2008).”. Pola pengembangan pembangunan sebelah utara yang meliputi sekitar Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dengan kondisi kualitas perairan laut yang masih bersih, jernih,dan kaya akan habitat terumbu karang dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari ekslusif. Ini menandakan Pulau Pari mempunyai Grand desain untuk membuat pulau ini menjadi tempat pariwisata modern. Kebijakan sepertinya akan lebih dipriotaskan kepada pariwisata dan budi daya laut pulau Pari termasuk kedalamnyaPemerintah Administrasi Kepulauan seribu menargetkan Pulau pari ini menjadi pulau andalan kedua setelah Untung Jawa. Pemukiman warga dengan mendirikan Home Stay, kuliner untuk menarik wisatawan yang pada akhirnya akan menambah pendapatan warga. Dengan ulikan kreatifitas warga dalam menjamu wisatawan, dengan adanya pernak-pernik dan kerajinan masyarakat sehingga menjadi daya tarik tersendiri.”Apalagi kalau pulau ini benar-benar menjadi Riset Marine Center akan menambah keunikan”.ungkap Pak Sudiman yang penulis temui di Gedung Widya Loka Jln.Sunter Permai I Jakarta Utara. Namun permasalahan kepemilikan lahan menjadi  jalan meander pengembangan itu..

Masyarakat menjadi ujung tombak dalam pelestarian lingkungan yang ada di pulau Pari. Toh jadi atau tidaknya Pulau Pari menjadi tempat wisata yang modern, membutuhkan masyarakat sekitar yang menjadi keunikan tersendiri. Tahun 2010 LIPI berencana akan melakukan pelatihan budi daya kepiting. Pengembangan potensi kepiting akan melibatkan  warga sekitar. Dengan diberi pendidikan budi daya, harapannya akan menambah income warga Pulau Pari. Pun budi daya ini akan menambah keunikan Pulau ini.

Permasalahan masyarakat Pulau Pari menjadi bayang myopic strategi pemukiman global yang dilakukan oleh PBB menuju tahun 2000 (Global Strategy for Settlement), yang diadopsi dengan suara bulat oleh majelis umum PBB, memanfaatkan dimensi Hak Asasi Manusia tentang perumahan sebagai basis untuk mengartikulasikan  langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh pemukiman bagi semua orang pada akhir akhir milenium kedua. Pun  Freud Harrisond mengatakan”sumber krisis ekonomi yang paling utama adalah adanya praktik monopoli tanah dan spekulasi tanah.

 

 

 

 

 

 

Posted on Kamis, Juli 22, 2010 by Rianto

No comments

Judul Buku  : BACALAH!

Penulis         : Suherman, M. Si

Penerbit      : MQS PUBLISHING

Ukuran        : xii + 152 halaman; 15 x 23 cm


Mahaguru pembawa peradaban di dunia telah menggambarkan dimana buku menjadi teman duduk. Cobalah buku, bacalah mataku, bacalah kepribadianku melaluimu. Semenjak turunya ayat pertama yaitu iqra, telah membawa tradisi lisan ke tradisi tulis yang membawa pelita dalam kegelapan. Seprtinya buku telah membawa indikator peradaban dunia dimana terciptanya tulisan-tulisan.

Sehingga kesepakatan sampai hari ini, buku menjadi frame peradaban, perpustakaan-perpustakaan Islam yang berkembang pada waktu itu menandakan pula perkembangan Islam yang menjadi motor penggerak peradaban.

…Hal itu tumbuh dan dan berkembang atas dorongan tradisi intelektual yang menonjol dalam sejarah perkemabangan ilmu pengetahuan dikalangan umat islam, yakni penerjemahan, penulisan kitab, polemic intelektual, perdebatan, dialog, ulasan, pensyarahan, da sebagainya (hal 10)..


Ulama- ulama terdahulu merupakan mahaguru peradaban yanag tidak pernah terlepas dari aktivitas membaca dan menulis. Sehingga tidak heran, mereka dikatakan sebafgai klutu buku. Ssebab, buku merupakan gudang ilmu pengetahuan disanalah mereka bisa berdialog dengan ulama-ulam terdahulunya.

Belajar dari Mahaguru Peradaban

Dalam buku “bacalah” karya Suherman, Msi ini, memberikan sketsa mahaguru peradaban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Mulai dari perkembangan islam, ulama ataupun cendikiawan islam, serta mahaguru peradaban yang sukses karena membaca. Abu Abdullah al-A’rabi sebagi contoh an dimana ia sangat dekat dengan buku. Ia terkenal suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan kepada tamu yang datang ke rumahnya.

..”Kata pelayanku, tadi dirumahmu tidak ada siapa-siapa. Tapi, mengapa anda bilann ada tamu, dan anda akan kesini setelah menemani mereka?, Apa maksudmu” Tanya Abu Ayub. Abu Abdulah menjawab dengan membacakan syair. Kami punya temna-teman duduk dan kami tak pernah bosan berbicara dengan mereka, mereka bisa dipercaya saat aku ada di rumah maupun sedang pergi, mereka membeiku ilmu, kepintaran, pendiidkan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan perlakuan buruk, aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tanganya jika kamu bilang mereka mati, kamu tidak bohong dan jika kamu bilang mereka hidup, kamu juga tidak berdusta (hal 30).

Para ideologi, para pemimpin, dan negara kontemporer dijadikan bukti autentik abad 18 sampai abad 20. Masing-masing diwakili oleh Karl Marx, Imam Khoemeini, Mahatma Gandhi, Hasanal-Banna, Barack Obama, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Penulis disini mencoba memberikan contoh para mahaguru peradaban nasional yang membuktikannya dengan baca, menulis, dan berkarya. Keadaan para mahaguru ini seperti apa yang dikatakan Thomas Jefferson “aku tidak bisa hidup tanpa buku”.

Konteks Keindonesiaan

Tradisi para pembesar bangsa ini maupun mahaguru peradaban dunia telah membuktikan dengan semangat membaca, diskusi, maupun menulisnya. Namun, keadaan konteks keindonesiaan kekinian memberikan keadan terbalik masa lalu. Disinlah penulis mencoba menggeliatkan kemabali insan indoensia untuk membuktikn kualitasnya dengan menciptakan paradigm kritis melalui membaca. Penulis pun memberikan beberapa premikirannya tentang menghidupkan kembali semangat membaca Mahaguru Peradaban. Yaitu dengan kesadaran, cita-cita, ilmu pengetahuan, tekad.

Ditengah kelesuan membaca di Indonesia buku ini hadir dengan penutup kesaksian para kaum cendikiawan dan budyawan. Dalam rangkaian esai kritis, mereka mencoba memberikan solusi kelur dari permasalahan kelesuan ini. Mulai adari pertanyaaan Taupiq ismail “kenapa orang Indonesia, sedikit, sangat sedikit, luar biasa sedikit membaca buku?. Tragedi nol buku ini semoga menjadi penyulut api para generasi sekarang untuk terus membangkitkan semangat membaca para mahaguru peradaban. Tak ada salahnya ketika telah membaca resensi ini, kita mulai menjadikan buku sebagi teman dekat. “Yuk kita membaca”

Posted on Kamis, Juli 22, 2010 by Rianto

No comments