Jumat, 22 Februari 2013


our system is broken      
                                            

and its Feels Imposible to fix


but we can’t wait


text “Possible” 77177    
                                         

the great school come from great people


in every city, in every town


“people are doing it every day” (Geoffrey Canada)


people like you


there are steps you can take


there are steps  to create great school


to create your school, to create any school


we know what works!!!!


quality teachers, more classroom time, world class quality, high expectations, real accountability


the problem is complexs but the steps are simple


“Its starts with teachers becoming the very best”


leader removing the barriers to change 


neighbors commited to their school


you wiiling to act


go to waiting for superman!!!


share this Film


tell everyone know to pledge 


text possible 77177

Diambil dari Film “Waiting For Superman

Posted on Jumat, Februari 22, 2013 by Rianto

No comments

Rabu, 20 Februari 2013

Selalu ada jawaban pesimis, meski Paulo Freire sudah lama masuk alam pikiran Indonesia. Ya, tidak ada perubahan yang jelas di pendidikan kita. Fenomena ini merupakan tantangan bagi pendidikan kita. Pak Win menggambarkannya sebagai “Tantangan zaman yang hari kehari serba krisis untuk masa depan,” tulisnya di salah satu esainya.  Pendidikan sebagai studi kultural menjadi wacana yang menarik untuk dibicarakan di pendidikan kita.

Romo Mudji adalah salah satu alam pikiran Indonesia yang memaknai praksis pendidikan Freire dalam sudut pandang kebudayaan. Ini menarik, karena Romo Mudji coba memeras pemikiran Paulo Freire dalam kebudayaan sehari-hari. Pengalamannya dua kali mengunjungi sekolahnya di Brasil telah menguatkan kredonya. Saya sempat mengobrol dengan Romo Mudji mengenai studi kultural di Kanisius Jakarta, Januari lalu.

“Buku ini memberikan inspirasi awal. Dari pengalaman di Brasil tersebut menjadi pijakan dalam  membahas studi kultural,” pungkasnya.  

Menurut Romo Mudji, pendidikan merupakan pemekaran potensi manusia yang memerdekakan. Mengapa pendidikan adalah proses pemerdekaan?

Penyebab utamanya karena adanya alienasi yang mengekang manusia. Alienasi disini, digambarkan seperti para pekerja yang dikondisikan pikiran dan kesadarannya dirampas dalam hal banting tulang menyelesaikan pekerjaannya dengan upah seadanya. Persisnya, mereka tidak bisa menikmati hasil keringatnya sendiri.

Ekspresi keterasingan ini, menurut Romo Mudji memberikan makna celah yang bisa diisi. Justru di celah alienasi harus ditumbuh-mekarkan pola-pola cendikiawan maupun celah-celah kreatif dari sang seniman, guru, penulis, ataupun para cerdik-pandai lainnya. Dalam bahasa kultural, ada yang menggambarkan ragam bahasa perlawanan alienasi dengan bahasa puisi, mungkin seperti Chairil Anwar, bahasa tulis seperti Tan Malaka, ataupun bahasa lukis Affandi. Serta bahasa lainnya yang saling “mengingatkan” tantangan melawan Alienasi.

……ketika menyadari bahwa ‘webs of significance’ (jaringan arti dan jagat makna) ternyata diatur, diseragamkan atas nama stabilitas atau logika keterasingan maka disana kita tergugat untuk menanggapinya secara efektif, secara budaya….. 

Alienasi yang pokok yang harus dihancurleburkan adalah alienasi budaya dan alienasi politis. Pertama, alienasi ini bisa dikatakan sebagai dasar dari keseharian hidup masyarakat. Dimana, pola-pola kehidupan keseharian ini menjadi pijakan dalam hal gambaran masyarakat. Disini pulalah persis apa yang dikatakan Raymond Williams (salah satu pioneer kajian kultural dari kalangan Marxis) mengajak menyelami kembali kehidupan sehari-hari sebagai budaya yang harus diselami kembali maknanya.

Kedua, adalah Alienasi Politis. Alienasi ini berkaitan dengan budaya sehari-hari dalam masyarakat itu sendiri. Ketika budaya sehari-hari ini terkontaminasi dari praktik-praktik politis, maka hasilnya bisa ditebak adanya kerancuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nyata riilnya adalah persinggungan antara apa yang diinginkan dengan kenyataan sehari-hari. Korupsi, kemiskinan, dalam bundelan kata ‘ketidakadilan’ adalah juru kunci ‘baca’ budaya sehari-hari itu.

Konsientasi Ala Freire
Freire  mendobrak budaya lama sekolah yang digambarkannya dalam model gaya “Bank”.  Sekolah masih saja menerapkan pendidikan sebagai hal yang mekanis tersebut. Seharusnya adalah dengan mengandalkan guru sebagai fasilitator, Freire coba mendialektikakan “membaca kata membaca dunia”. Dalam buku pendidikan pemerdekaaan ini pun, Romo Mudji merujuk pada proses kodifikasi dalam membaca kata membaca dunia. Ini adalah sebuah:

langkah proses pendidikan Freire yang meneliti dan mengumpulkan tema-tema atau kata-kata kunci yang menjadi ungkapan “situasi batas”, masyarakat yang bersangkutan. Bila kata kunci atau tema sudah dikodifikasi: (dipilih dan divisualisasikan entah dengan gambar, mimik drama, atau komik tulisan atau gerak) lalu tema-tema itu siap untuk ditampilkan pada masyarakat yang bersangkutan. Jadi kodifikasi adalah proses yang dilakukan bersama-sama antara pendidik dan terdidik….

Pengalaman Romo Mudji ketika mengunjungi langsung Brasil merasa “membaca” gambaran sehari-hari masyarakat Brasil dalam proses alfabetisasi.

….yang mengesankan justru pengaruhnya pada kebiasaan membaca pada sebagian besar masyarakat Brasil yang secara ekonomis masih berjuang antara yang kaya dengan fasilitas industri global dan mereka-mereka yang masih merangkak dalam  kemiskinan, kekurangan….

Untuk melangkah kesana, diperlukan suatu proses pendidikan alfabetisasi. Caranya, anak-anak mencari kliping koran mulai dari abjad A dan seterusnya yang memuat kata-kata sehari-hari. Artinya dari alfabet/abjad anak-anak diajak mencari kata dan memaknai realitas yang dekat dengan anak-anak.  Penting sekali menghubungkan kata dengan realitas yang ada dalam proses alfabetisasi tersebut.

Proses alfabetisasi ini pun dapat digunakan pada saat menggambar. Sehingga terasa nuansa pendidikan dan seni yang membentuk kesadaran. Lalu bagaiman dengan pendidikan kita?

Ketika proses alfabetisasi/pengaksaraan ala Freire bergerak masif, justru pendidikan di Indonesia bertolak belakang. Proses ini dilukai dengan pendidikan yang melulu pada penghapalan. Padahal penekanan proses alfabetisasi kebudayaan sehari-hari itulah yang dijadikan modal dalam hal menamai realitas menumbuhkan penghayatan, internalisasi.

Hubungan “manusia” dan “dunia” yang digambarkan Freire memberikan alternatif pemikiran pendidikan yang kritis, melawan, sebuah pandangan behavioristik. Mengkritik obyektivisme mekanis yang ditandakan pada kesadaran hanya sebagai foto copy realitas.  Mengkritik idealisme yang memandang dunia semata sebagai hasil kesadaran manusia.  Seluk beluk manusia dan dunia, hubungan manusia dengan manusia lainnya menjadi sorotan Freire. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang mengadakan sejarah.

Sejatinya, proses konsientasi Freire sebenarnya sudah lama dibawa para pembesar bangsa Indonesia. Setidaknya dengan mempelajarai sejarah, akan  didapat alur yang jelas mengenai proses konsientasi. Menurut romo, penghayatan sejarah diperlukan, dimana alur lurus bangsa ini diperjuangkan, dicontohkan. Para pembesar kita seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka adalah mereka-mereka yang “mengadakan sejarah”.

Dengan jalan kebudayaan pulalah proses humanisasi dapat dinamai sebagai jalan menuju peradaban. 

Dari pendekatan sejarah, mentalitas ini membentuk peradaban bangsa untuk menamai dunianya. Sehingga penyadaran merupakan usaha terus-menerus, harus mengeras, pada proses bangkitnya pencerahan. Penghayatan sejarah yang pernah menerbitkan peradaban bangsa yang berdasarkan kolektivitas. Sekali lagi, kebudayaan sehari-hari menjadi titik tolak  dalam kajian kultural dalam pola yang jelas mengenai konsientasi pendidikan yang  mengindonesiakan.

Terima Kasih kepada Romo Mudji yang telah memberikan bukunya saat berdiskusi di Kanisius Jakarta 2012
Tulisan saya ini pernah dipublikasikan oleh Dian Jiwa. Bisa ditemui di http://www.sekolahtanpabatas.or.id/membaca-paulo-freire-dalam-kebudayaaan-sehari-hari/ dapatkan tulisan-tulisan menarik lainnya terutama mengeni pedagogi dan literasi kritis. Salam.

Posted on Rabu, Februari 20, 2013 by Rianto

No comments



Sebuah negara maju memerlukan entrepreneur atau wiraswastawan yang berjumlah setidaknya dua persen dari total penduduknya. Pada saat ini, Indonesia baru memiliki 0,8 persen. Menurut Ciputra, Indonesia mesti tancap gas untuk mengejar ketertinggalan ini dalam 20 tahun ke depan. Bagaimana mendidik entrepreneur?

Untuk itu, Tilaar menjawab dalam bukunya Pengembangan Kreativitas  dan Entrepreneurship Dalam Pendidikan Nasional. Apa yang menarik dari para entreprenur? Tilaar tertarik dengan cara berfikir para entrepreneur ini. Pun ia menyatakan bahwa entrepreneur adalah pribadi-pribadi yang menginginkan perubahan. Mereka adalah orang-orang kreatif.

Penelitian-penelitian mengenai sosok manusia kreatif banyak dihubungkan dengan bagaimana mereka berfikir. Di halaman 66 Tilaar menulis, pada penelitian Sternberg dan Lubart menekankan kepada kebutuhan untuk mengambil resiko. Blumberg menekankan kepada keinginan memperoleh keahlian dalam suatu tugas atau sebagai kebutuhan untuk menjadi yang lain (the need to be different).

Memang sulit menunjukan secara jelas sosok yang sesungguhnya mengenai manusia manusia kreatif. Penelitian yang dilakukan oleh Weinberg mungkin bisa dijadikan titik tolak dalam proses belajar peserta-didik. Dimana peserta didik dapat kreatif kalau ia dihadapkan kepada situsi-situasi yang problematik.

Situasi-situasi problematik mampu membuat seseorang mampu menangkap apa yang disebut sebagai berfikir inovasi. Contohnya penemuan mie instan oleh Momofuku Ando, dikarenakan oleh adanya perang dunia yang mengakibatkan kelaparan. 

Ketika mereka menghasilkan ide-ide, inovasi-inovasi, dari sinilah perubahan pada masyarakat dimulai. Mereka telah mempengaruhi serta mengubah cara berfikir dan bertindak kebanyakan orang.
Inilah manusia-manusia entrepreneur yang memiliki sikap entrepreneurship yaitu sikap berani mengambil keputusan sehingga perbuatannya melahirkan berbagai jenis kemungkinan (opprtunity) yang apabila dilaksanakan akan menghasilkan  suatu perubahan (halaman76).

Oleh karena itu, jika ditinjau lebih dalam akar dari entrepreneurship adalah berfikir kreatif dan kritis. Dari berfikir kreatif dan kritis inilah akan bermunculan para entrepreneur yang mampu berinovasi dan melakukan perubahan. Namun, kondisi kekinian pendidikan Indonesia dipandang tak mampu menciptakan para entrepreneur.

Justru sistem pendidikan nasional yang melulu jiplak dan condong pada negara-negara maju, permasalahan UN, telah mematikan kreativitas peserta didik. Fenomena berfikir instan masih merajalela. Seperti jual-beli gelar, pembelajaran yang serba cepat dan instan telah mematikan proses. Seolah-olah pendidikan seperti peternakan akademik. Jika pendidikan itu sendiri anti kreativitas, maka pendidikan itu  anti berfikir kreatif pula. Artinya anti entrepreneur juga. 

Mestinya lembaga pendidikan dewasa ini harus mampu menciptakan manusia-manusia entrepreneur. Entah bakat atau bukan, pendidikan mesti memberikan kesempatan semua anak Indonesia  dalam pengembangan entrepreneurship.  Tilaar mengingatkan, entrepreneurship dalam pendidikan sejatinya mampu menciptakan pribadi-pribadi yang berfikir kritis, kreatif, yang merasang ide-ide yang inovatif. Bahkan mampu membawa perubahan bagi dirinya serta masyarakat.  

Program pendidikan yang menekankan pada problem solving, proses pembelajaran berdasarkan pengalaman mesti dikedepankan.  Sebab dari sanalah mereka dididik untuk berfikir kreatif dan kritis. Begitu pula mereka diasah kemampuanya untuk berinovasi. Perlu dingat semua itu tercipta dari suasana budaya kreatif.

Menurut Tilaar, manusia kreatif-inovatif ternyata tidak dilahirkan dalam masyarakat tanpa budaya kreatif. Di dalam masyarakat dengan budaya kreatif berarti para anggotanya mempunyai kesempatan untuk berfikir kreatif yang ingin berfikir “out of the box”. 




Posted on Rabu, Februari 20, 2013 by Rianto

No comments



“Aku berfikir maka aku ada,” Descartes sangat fenomenal dengan filosofinya itu. Namun, Kapuscinski lain. Menurutnya, “Aku ada karena aku bertemu dengan Orang lain.” Dalam bukunya ini, Orang lain/ The Other  adalah ibarat cermin yang padanya kita melihat, kita ada. 

Sebagai orang Polandia, Kapuscinski adalah ‘orang lain’. Ketika ia tinggal di Meksiko, T-tetangganya selalu memanggilnya dengan ‘El Polaco’. Pun ketika akan menaiki pesawat, pramugari di Yakutsk memanggilnya dengan ‘Polsha’!

Mengapa demikian? Perbedaan mencolok mengenai warna kulit, ras, dan agama adalah penyebabnya.
Kapuscinski  banyak membahas relasi orang Eropa dengan Orang lain. Menurutnya, pertemuan dengan Orang lain merupakan permasalahan bagi kebudayaan Eropa. Adari sejarahnya, dimulai dari perjalanan para utusan Raja sampai  para pelayar yang menemukan benua-benua. Era ini disebut sebagai era penguasa, pembantaian, era penaklukan dan pertukaran. Masa suram bagi hubungan orang Eropa dengan Orang lain. Hingga abad pencerahan menemukan titik balik pengetahuan kunci untuk memperbaiki hubungan dengan Orang lain tersebut. 

Patut dicermati adalah pemaknaan Orang lain dari para antropolog dan pemikiran Levinas. Pertama, antropologi merupakan ilmu yang mendalami mengenai suku-suku di belahan dunia. Informasi yang didapatkan oleh para antropolog telah menerjemahkan dan memudahkan kita untuk mengenal lebih dalam suku-suku, Orang lain tersebut. 

Kedua, Filsafat Levinas mengenai ‘Orang lain’ disebut-sebut sebagai  filsafat diantara yang lain, sebuah reaksi atas  pengalaman manusia pada paruh pertama  abad XX. Ditandai dengan krisis peradaban barat, terutama sekali mengenai krisis hubungan antarpersonal aku dengan Orang lain.
Dalam Le temps et l’autre karya Levinas,  orang lain merupakan sosok pribadi tunggal. Jelasnya, Orang lain akan berbeda ketika ia menjadi pribadi tunggal. Pun Orang lain akan menjadi garang jika menjadi bagian kerumunan atau kelompok. 

Titik balik abad pencerahan telah membuat dunia global lebih terbuka sebenarnya. Pemaknaan  mengenai Orang lain lain pun berkembang dalam semangat multikulturalisme. Namun, kita harus tetap waspada. Kapuscinki mengingatkan, multikulturalisme juga menyimpan dua ancaman. Pertama, energi dan ambisi berlimpah dari budaya-budaya  yang baru saja merdeka dapat dieksploitasi oleh kaum nasionalis dan rasis untuk mendorong terjadinya  perang Orang lain. Kedua, jeritan untuk memajukan budaya sendiri dapat dieksploitasi untuk membangkitkan etnosentrisme, xenophobia, dan kebencian terhadap Orang lain.

Akhirnya buku ini pun mengajak semua orang untuk mengalami makna bertemu dan menjadi Orang lain dengan bijak. Betul, berjumpa dengan orang lain adalah tantangan pada abad ini. Yang harus kita renungkan kedepan adalah bagaimana perjumpaan kita dengan Orang lain nantinya?  



     

Posted on Rabu, Februari 20, 2013 by Rianto

No comments