Di dunia ini ada banyak hal yang bisa berlaku universal di berbagai tempat dan budaya yang berbeda. Salah satunya adalah kelucuan bayi manusia dan kasih sayang tulus dari seorang ibunya. Itulah yang tergambarkan dari film yang berdurasi 79 menit ini. Di manapun mereka dibesarkan, berasal keturunan dari ras apapun. Pun budaya yang membina mereka, bayi tetaplah bayi; lucu, naif, dan punya rasa ingin tau tinggi.

Film ini menggambarkan kisah kehidupan awal empat bayi dari empat bangsa yang berbeda dan empat kebudayaan yang berbeda dari saat mereka dilahirkan, berada dalam fase merangkak, mulai menyebutkan kata ‘mama’ sebagai kata pertama, hingga akhirnya dapat membuat langkah-langkah kecil tanpa bantuan orang di sekitar mereka. 

Keempat bayi tersebut antara lain Ponijao, gadis kecil yang terlahir dalam keluarga dari suku Himba, Opuwo, Namibia yang masih mempertahankan kehidupan tradisional mereka; Mari yang hidup dengan kehidupan yang serba modern di kota Tokyo, Jepang; Bayarjargal (Bayar) anak lelaki yang akrab hidup dengan hewan ternak orang tuanya di Bayanchandmani, Mongolia; dan Hattie, gadis kecil bermata biru yang akrab dengan budaya baca orang tuanya yang hidup di San Francisco Amerika Serikat.

Perbandingan yang begitu kontrasnya terlihat antara kehidupan bayi-bayi yang hidup di daerah perkotaan negeri yang maju seperti Hattie serta Mari dan kehidupan dua yang lainnya Ponijao dan Bayar, anak dari dua negara berkembang yang hidup di desa dengan kentalnya tradisi. Hattie dan Mari memiliki lingkungan yang sengaja dikondisikan untuk mereka; taman bermain, mainan yang sesuai dengan umur mereka dan pendidikan pra sekolah dari lingkungan diluar keluarga mereka.

Berbeda dengan kedua bayi dari dua Negara maju tersebut Ponijao dan Bayar tak memiliki lingkungan yang memang khusus dikondisikan untuk tumbuh kembang mereka. Namun alamlah yang mengkondisikan tubuh mereka hingga anggapan bahwa semua bayi memiliki tubuh yang rentan oleh kontaminasi bakteri dan virus pun terpatahkan. Mereka berdua bebas bermain di ruang terbuka, berinteraksi dengan hewan-hewan ternak milik orang tua mereka dan bahkan menjadikan benda apapun disekitar mereka menjadi mainan yang bisa masuk kedalam mulut mereka. Ponijao dan Bayar tetap tampak sama sehat, kuat, dan cerianya seperti Hattie dan Mari yang hidup di negara yang maju.

Layaknya sebuah film dokumenter, Thomas Balmes sang sutardara berusaha mengemas film ini se-real mungkin. Ponijao, Mari, Bayar, dan Hattie selaku tokoh utama di film ini tak dituntut untuk berakting apapun. Hal ini pun menjadi syarat yang diajukan para orang tua dari keempat bayi tersebut. 

“Kami ingin anak kami menjadi selayaknya bayi dalam film ini”, tutur Frazer, ayah Hattie.

 Balmes pun menjamin hal tersebut kepada setiap orang tua mereka. Bahkan ia menekankan bahwa film ini akan diedit seminim mungkin. 

“Kami hanya menyediakan frame kosong. Mengolah film ini adalah hanya perkara mengatur potongan kisah bagaimana si anak berinteraksi dengan orangtuannya, lingkungannya, hewan, dan benda-benda disekitar mereka.”

Film ini tak hanya sekedar menyajikan pemandangan kelucuan tingkah laku bayi yang menggemaskan semata. Di dalamnya sesungguhnya ada esensi kebudayaan yang selayaknya membuat setiap mata yang menyaksikan film ini hingga habis menyadari bahwa tak ada hal yang dikatakan mutlak terbaik dalam hal membesarkan seorang bayi. Yang terpenting dalam proses ini sesungguhnya adalah rasa cinta yang tulus dari orang tua mereka, terutama seorang ibu. Cinta kasih yang tulus dari seorang ibu adalah hal yang dapat membuat seorang anak bisa tumbuh dengan baik. 

Bahkan Susie, ibu dari Hattie pun menyadari suatu hal yang penting sejak menyaksikan film yang dibintangi oleh anaknya tersebut. 

“Cara apapun bisa menjadi hal yang tepat selama dilakukan dengan niatan untuk memberikan yang terbaik untuk anak kita. Film ini benar-benar dapat menggambarkan nilai yang paling universal dalam menjadi seorang manusia.”

Diresensi Oleh Fitriana Prajayanti Pippi 

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris  2009 Universitas Negeri Jakarta