Selasa, 28 Januari 2014



Banjir begitu menguras pikiran dan tenaga. Rumah banyak yang terendam akibat meluapnya sungai. Hujan yang begitu deras mengakibatkan kita khawatir dan waspada akan banjir susulan. Jalur darat yang tergenang banjir pun menghambat alur logistik. 

Banjir membawa masalah baru. Ibu-ibu kesusahan karena bahan logistik mendadak menjadi mahal. Anak-anak mesti libur ke sekolah akibat jalan dan sekolahnya tergenang banjir. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan  tidur di tenda-tenda pengungsian. 

Kita percaya, masa anak-anak merupakan masa di mana mereka kuat untuk menyimpan ingatan. Memori mereka dapat merekam dengan jelas apa yang terjadi di kampung serta sekolahnya yang diterjang banjir itu. Bencana berupa banjir ini akan terkenang, terekam, mengendap di ingatan anak-anak. Dalam ingatan anak-anak itu kita bisa belajar, banjir bukan saja urusan tata ruang dan sodetan sungai. Banjir mesti kita lihat dengan kacamata anak kecil. Dengan pertanyaan lugu mereka selalu bertanya, mengapa setiap musim penghujan mereka selalu mengungsi

Gagapnya penanganan banjir berefek pada imajinasi dan ingatan anak-anak di pengungsian ini. Di sinilah mesti kita perhatikan, kebijakan menangani banjir bertaruh terhadap ingatan anak. Kegagalan menangani banjir berarti menambah memori ingatan anak akan pedihnya bencana banjir. Mereka mesti tidur di tenda-tenda, kehilangan teman bermain, dan mereka juga mesti meninggalkan rumah. Tempat di mana mereka mengenal huruf dan kata. 

Kita mesti mendengar dan mencerna ingatan anak-anak itu. Sebab ingatan dan imajinasi mereka tentang banjir menjadi cerita paska banjir yang mesti diperhatikan lebih. Karena disitulah suara polos terdengar di tengah ributnya kita mengenai masalah banjir. Kita memimpikan bersama mencipta kota dan desa yang ramah untuk anak-anak. Bukan menjadikan kota dan desa kita sebagai supermarket bencana bagi ingatan anak-anak. Begitu.

*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa  Koran Sindo, Selasa 28 Januari 2014

Posted on Selasa, Januari 28, 2014 by Rianto

1 comment

Sabtu, 18 Januari 2014



Kini kita memasuki tahun politik. Di jalan-jalan mudah sekali menemukan  muka ramah penuh senyum di baliho yang memohon doa restu. Itu artinya kita memasuki tahun gombal para calon legislatif. Calon legislatif dari partai politik ini merupakan pejabat yang bakal memimpin jalannya pembangunan lima tahun ke depan. 

Kita sering mengeluh mengapa pembangunan jalan raya yang baru sebulan sudah  bopeng aspal-aspalnya. Ternyata pembangunan jalan raya dikorupsi anggarannya. Pembangunan fisik tidak didukung dengan pembangunan mentalitas pejabat. Koentjaranigrat  mengungkapkan mentalitas sebagai syarat untuk pembangunan yang bertanggung jawab. 

Tengok buku Meraba Indonesia Ekspedisi Gila Keliling Nusantara, Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Kita masygul dengan kehidupan pulau-pulau terluar di Indonesia. Wajah cantik pembangunan masih berpusat dan memuja Jakarta. Padahal  wajah bopeng  pembangunan Indonesia dapat ditemui di daerah terluar dan perbatasan itu. Contohnya  masyarakat Sebatik, Nunukan, dan Tarakan lebih tergantung terhadap insfratuktur Malaysia. 

Dari situ mereka bertanya akan kinerja pejabat dari pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Rakyat selalu diobral janji dengan pembangunan yang merata oleh pejabat saat pemilihan daerah atapun legislatif. Anehnya saat mereka terpilih, sering rakyat disuguhi mentalitas para pejabat yang gemar menjadi turis pembangunan.

Yakni pejabat-pejabat yang gemar akan kunjungan di daerah terpencil  dan perbatasan hanya sekedar berfoto. Lalu membekukannya lewat buku-buku laporan seadanya. Mereka tidak banyak menghabiskan waktu terjun bersama rakyat. Justru mereka menghabiskan waktu untuk pergi berbelanja dan liburan di negara tetangga. Sulit rasanya memeratakan pembangunan jika mentalitas pejabatnya bermental turis pembangunan.

Negara ini memerlukan pejabat dari partai politik yang serius mengurus rakyat. Pejabat yang peduli dengan keluhan rakyat. Menurut Ahok, hari ini kita tahu bahwa pada umumnya politikus yang seharusnya menjadi pelayan, sudah budek  (tuli). Mereka bukannya tidak tahu soal kesusahan rakyat tetapi tidak peduli untuk tahu (Surat Dari dan Untuk Pemimpin, Tempo Institute).

Di tahun politik ini kita mesti jeli. Banyak monster-monster yang mengobral janji dengan slogan-slogan membangun desa, memberikan akses pendidikan dan kesehatan. Kita bisa memilih pejabat yang blusukan ke masyarakat. Bukan memilih pejabat bermental turis pembangunan.

*Tulisan ini masuk di Poros Mahasiswa Koran Sindo 16 Januari 2014

Posted on Sabtu, Januari 18, 2014 by Rianto

No comments