Rabu, 19 Maret 2014



J.K Rowling dalam bukunya The Casual Vacancy (2013) mengatakan kursi kosong dalam politik mirip kantong pesulap. Di dalamnya penuh serba kemungkinan. Anak muda mesti bisa menebak, kemungkinan kursi-kursi kosong itu bakal diisi badut-badut politik. Tidak salahnya tahun perebutan kursi kosong ini anak muda  mesti cermat memilih. 

Anak muda sering dicekoki slogan-slogan menjadi pemilih cerdas. Tapi anak muda pun berhak untuk mengukur, melihat kualitas para caleg. Caleg kita kebanyakan apolitis. Mereka tampil berpolitik dengan menempelkan wajah-wajah ramah penuh senyum di pohon-pohon. 

Lucunya anak muda diundang untuk rembug politik di rumah-rumah para caleg. Sayangnya, rumah mereka hanya dijadikan panggung untuk mengobral janji-janji. Memohon do’a restu, memuja tepuk tangan,  dan mengajak makan, ngopi, dan ngerokok. Rumah mereka mirip warkop. Hanya menyediakan kopi, rokok dan mie instan. Akhirnya anak muda pun berpolitik instan!

Justru disinilah, anak muda jangan tergoda dengan tawaran-tawaran politik warkop itu. Kita malu memilih caleg yang rumah mereka kering akan pengetahuan politik. Rumah caleg miskin akan buku dan wacana politik. Kita justru merindukan rumah para caleg yang penuh dengan buku dan kursus-kursus pemikiran politik. 

Akhirnya, caleg sekarang sudah jarang yang menjadi serigala literasi politik. Bukankah merekadiwariskan buku-buku pemikiran politik macam Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan  Soekarno. Mereka jarang  membaca dan memberikan gagasan  politik berupa tulisan-tulisan bernas mengenai politik. Caleg kita sudah mati literasi politiknya.

Di koran-koran mereka bukan menjadi politikus yang literer tetapi malah menjadi koruptor.Setelah terpilih, koran-koran pun memuat dan mempertontonkan opera kursi kosong di DPR. Mereka hanya hadir dan memadati kursi itu saat pembahasan proyek-proyek yang menguntungkan. 

Anak muda mesti jeli melihat kualitas para caleg dari literasi politik. Yakni para caleg dari partai politik yang melek akan politik dan dibesarkan oleh buku-buku. Bukan memilih badut-badut politik yang hanya bisa berhias dan bersolek di baliho-baliho. Di kursinya mereka hanya menjadi orang-orang tanpa kepala.
  
  
*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo 19 Maret 2014



  

Posted on Rabu, Maret 19, 2014 by Rianto

No comments

Rabu, 12 Maret 2014





Siang sehabis baca buku JK.Rowling The Casual Vacancy, aku mencari hiburan bacaan ringan. Aku ingat ada bacaan anak-anak. Kisah Smurf dan Hogatha. Yeah, ini dia kisah si biru-biru lucu. Niatnya beli ini buku untuk dibacain saat kumpul-kumpul sama keponakan. Biar jadi abang yang baik.

Buku berjudul Smurf dan Hogatha (1985) ini menjadi pertanyaan bagiku. Mengapa kisah-kisah cerita anak kita masih bertahan dan terkadang terus diimpor? Aku menduga pasti karena kita generasi televisi. Televisi membawa imajinasi baru bagi kita untuk mengenal kisah-kisah lucu dari kartun. Imajiku sendiri dibesarkan oleh televisi. Imaji kartun yang masuk macam dragon ball, Shinchan, dan kawan-kawanya itu masuk dalam kepalaku. Minta untuk disantap terus menerus.

Apalagi hari minggu. Beuh, bisa-bisa seharian di depan televisi. Aku selalu membayangkan orang tuaku selalu mendongeng untukku ketika tidur lalu datanglah peri-peri pembawa kada dan tongkat sihirnya segala pengabul permintaan. Aduh, korban televisi!

Aku lebih tertarik dengan cerita-cerita anak berbentuk buku. Pas ngobrol sama Ami di pendopo IKK UNJ, aku jadi cerita ngalor-ngidul bicara tentang imajinasi anak. Aku begitu tertarik dengan orang-orang yang merelakan hidupnya untuk gandrung di dunia cerita anak. Mohammad Sobary dalam salah satu esainya mengungkapkan menulis cerita anak lebih susah dibanding menulis esai, cerpen dan lainnya. Ini berurusan dengan imaji anak. Persis ini pun dialami oleh B.Sanie Kuncoro, ketika aku bertemu dengannya ngobrol-ngobrol tetang proses kreatifnya. B.Sanie Kuncoro sempat kebingungan saat menulis novel untuk remaja. Menyambung imaji anak dan remaja sulit loh saudara-saudara!

Aku ingin mengkoleksi buku-buku cerita anak. Dari situ aku ingin belajar imaji anak. Agar aku gak melulu sok dewasa, sok hebat, apalagi sok bijak. Selalu menjadi bocah!

Di awal cerita buku ini, duh buatku merinding kepingin mengulang-ngulang lagi dibaca. Apalagi kalau dibacain oleh orang tercinta sebelum tidur. Asik.

“Nun jauh di sana, di tengah hutan belantara terdapatlah sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya berbentuk jamur. Di sanalah tinggal makhluk Smurf…”

Kamu sebagai penghuni kota, adakah tradisi membaca/mendongeng sebelum tidur? Aku yang tinggal di kampung tidak ada tradisi seperti ini. Barangkali aku menebak, masa kecil kamu lebih banyak diisi dengan LKS dan buku paket. Kita didongengi dengan ketakutan-ketakutan tidak mengerjakan PR. Jadi kita lebih didongengi oleh pilihan ganda, pilihan ganda, pilihan ganda. Kalau tidak ngerjain PR nanti gak naik kelas. Waduh!

Kisah-kisah malam yang menakutkan menjadi agenda penting untuk membaca kisah anak. Malam menjadi waktu untuk berkata. Malam dijadikan pembentuk imaji jahat. Di waktu malamlah imaji akan kengerian bocah dibuat.

“Malam telah tiba, nun jauh di sana, jauh dari pemukiman Smurf tampak menara istana tua membelah bulan yang sedang bersinar terang keperak-perakan. Sebuah jendela di menara itu tetap terang benderang; itulah tempat persembunyian si tukang tenung yang menakutkan Hogatha”  

Tetap saja takut-menakuti itu mengandung unsur kelucuan. Sang Agatha sebagai penyihir membuat ramuan agar dia menjadi Smurf. Kamu pasti menduga juga kisah-kisah dalam cerita anak banyak penjahat-penjahat. Tapi penjahatnya pasti dibikin lucu-lucu.

Kejahatan dikalahkan dengan kebaikan. Kejahatan maupun kebaikan dalam kisah anak kadang-kadang mengandung unsur kelucuan. Entah itu dari penggambaran mimik dan bentuk tubuh si tokoh jahat, ataupun dari tingkah kekonyolan-kekonyolan. Seperti niat Agatha meledakan jembatan malah Agatha sendiri yang dikerjain,

Tiba-tiba ada suara yang mengagetkan dibelakangnya

“Nih! Sebuah hadiah untukmu!” Smurf badut yang memberikannya sebuah kotak dihiasi pita. Hogatha keheranan:

“Hadiah ini buat saya? Apa ini?” tanyanya.

Dibukanya pita kado itu dan…

Blup! Bungkusan itu meledak ditangannya..

Jadi gak sabar mendongeng ini untuk kamu. Di malam-malam dingin aku ingin selalu berkata-kata. Saat kau terlelap. Ditengah kecerewatan nyamuk, katak, jangkrik, aku bergumam dan bergelimang kisah dihidupmu. Aku ingin kamu kembali tidur penuh mimpi-mimpi. Di saat itu aku berdoa: mimpi indah itu saat kita terbangun wajah dan tubuh kita kembali polos dan suci.   




Posted on Rabu, Maret 12, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 11 Maret 2014


Indonesia negeri penuh kelucuan. Bukan hanya dari orang-orangnya. Kelucuan pun ada di kartun-kartun, komik, ataupun karikatur. Ah, aku lebih suka membaca kartun dibanding membaca berita politik, politik, politik. Padahal toh, membaca komik, karikatur membaca politik pula. Nah, kalau gitu aku mau cerita ini buku. Minggu kemarin benar-benar hari berkartun ria. Dua buku Panji Koming  aku dapatkan. Pertama buku Panji Koming kumpulan 85-86 (1999) ini aku dapatkan saat pesta buku islam di Senayan. Satu lagi Panji Koming kumpulan 79-84 (1992) waktu berkunjung ke Blok M.

Buku ini menjadi penyiram dahaga mataku akan kecintaan terhadap gambar-gambar. Padahal buku ini sebagai bukti menutupi kesedihanku karena tidak bisa menggambar. Loh!

Tapi, aku ingin menjadi penonton yang menganggap kartun sebagai ilmu. Semoga dari sini pula bisa mengantarkan aku kesebuah rasa kehausan hebat akan keilmuan yang akan mengajakku terus bermesraan dengan buku dan kata. Nah, akhirnya aku menjadi  pendongeng ke mana-mana.

Begitulah mesti aku gak bisa gambar aku kepingin juga menjadi bagian dari keluarga besar komikus/karikaturis. Aku komikus kata-kata. Aku akan menjadi pendongeng komik-komik, kartun, karikatur Indonesia. 

Jadi  aku gak bakal minder kalau ketemu sama komikus-komikus hebat. Mesti gak bisa gambar aku ingin mengkoleksi buku-buku berbau kartun dan karikatur. Dari situ aku yakin, ada cerita hebat dari goresan kartun-kartun ataupun karikatur yang mesti aku ceritakan ke kamu.  Mereka turut juga menghias dan menceritakan Indonesia.

YB Mangunwijaya dalam kata pengantar Panji Koming kumpulan 79-84 mengatakan,

“Kartun yang baik seperti kincir angin, mampu memompa air penghidupan serta energi yang diperlukan oleh kehidupan dan penghidupan bersama masyarakat yang normal sehat, walaupun daya pemutarnya hanyalah angin yang empuk lembut. Itu adalah  berkat gaya humornya”

Emang orang-orang gampang kepanasan. Kartun menjadi kincir angin yang mampu menggelitik kehidupan kita, bikin adem, bisa juga membuat kita berfikir. Kartun hadir memberikan energi kita untuk menjadi manusia yang tertawa. Kota adalah monster pemakan tawa. Hidup kita kering tanpa humor. Kartunlah datang memberikan angin segar bagi kita yang coba menghayati, menimang-nimang kartun sebagai puyer tawa.

Aku merasa deg-degan saat Dwi Koen sebagai IBU dari Panji Koming ini mendapatkan pengalaman-pengalaman hebat dalam melahirkan karyanya itu. Dwi koen  dalam Panji Koming kumpulan 85-86 bercerita,

“Selama sembilan belas tahun, Panji Koming telah menjadi  kegiatan rutin  setiap akhir minggu. Menjadi teman ngocol  di penghujung tahun 80-an, wilayah ngocol semakin dibatasi, serasa masuk kandang ayam kate. Sedikit-sedikit ditelpon. Diminta agar kita tahu diri, justru oleh sesama orang yang tidak tahu diri”

Orde baru memang  monster pemakan kreativitas. Orde baru menjadi momok orang-orang untuk bebas berkreasi. Justri disitulah semakin menandakan bahwa MILITER lebih takut dengan KARTUN dibanding bom. Penguasa tidak punya selera humor. Negara menginjak tawa. 

Dari kartun kita bisa melihat sejarah Indonesia. Panji koming menjadi bagian yang mengisahkan kita akan Indonesia. Mereka datang bukan hanya untuk melucu dan menggelitik. Mereka hadir menjadi pewarna, moster kata-kata melawan penguasa.

            Membaca lembar demi lembar, aku tertarik dengan dialog Pailul dan Koming yang ngobrol tentang banjir.  Menurut mereka ada tiga hal yang harus diselamatkan dalam banjir. Pertama, selamatkan nyawa. Kedua, harta benda seperlunya, ketiga, selamatkan wibawa. Aku tertawa melihat raja yang dipayungi ditandu oleh rakyat akhirnya jatuh juga kena banjir. Dialog-dialog cerdas serta gambar yang ditampilkan Dwi Koen bisa menjadi cermin kita sendiri. Terutama cermin bagi penguasa.

            Dengan memiliki dua buku ini aku merasa hebat. Hebat dalam artian aku bakal mampu bercerita mengenai kehebatan kartun-kartun kita yang pernah nampang di koran-koran. Aku bakal sudi bercerita bagi siapa saja, istriku, keluargaku, teman-temanku bahwa dari hal lucu kita bisa mewarnai Indoensia.

Sayangku, semoga kamu bersedia membaca buku ini. Semoga kita mampu menertawakan dunia, menertawakan penguasa. Dari sini kita bisa menjadi orang yang tak melulu serius dalam urusan dunia. Aku mau bersama kamu tertawa, tergelitik, dari gambar merajut kata dan makna. Sayang, kehidupan mesti penuh dengan tawa, bukan uang! Hiks…!


  



Posted on Selasa, Maret 11, 2014 by Rianto

2 comments

Senin, 10 Maret 2014



Kakekku tidak bisa membaca. Eh, nenek juga deh. Katanya mereka lebih memilih bekerja dibanding sekolah. Makanya mereka tidak bisa membaca. Nah, kata nenek, laki-laki yang bekerja keras lebih dipercaya dibanding yang bersekolah! Hehe, mungkin itu persepsi nenekku aja. Terserah deh.

                Kadang-kadang sedih juga sih kalau mendengar masa kecil mereka. Sekolah kalau mau saja. Guru sampai ke rumah-rumah untuk memanggil anak-anak muridnya untuk ujian. Sebab kalau musim panen, mereka lebih ikut menjadi buruh tani dibanding sekolah. Apalagi gurunya galak-galak. Sekarang, ah banyak yang malas bersekolah.

                Jika ke sekolah pasti ada dong buku pegangannya. Kalau di rumah, aku mengajari keponakanku membaca dan menulis aku sering juga melihat-lihat, mengintip buku pelajarannya. Terkadang bukunya bagus-bagus dengan warna-warna dan gambar menggoda.

Buku yang akan aku ceritakan ini lain. Gambarnya tak berwarna. Wah, aku dapat buku lawas pelajaran bahasa Indonesia. Aku tidak tahu apakah kakek dan nenek sempat megang ini buku. Buku berjudul BAHASAKU karangan B.M. Nur dan W.J.S Poerwadarminta (1950) ini sengaja aku dapatkan untuk menyambung imajinasi masa kecil.

                Membuka lembar-demi lembar buku ini membuatku menyambung juga memori masa kecil sekolah kita dulu yang masih berseragam merah putih alias SD. Tetapi bahasa dibuku lawas ini berbeda. Ejaan lawas. Aku generasi EYEDE TOEAN SOEHARTO, ini buku kayanya pake ejaan Soewandi. Agak tersendat juga membacanya.  Baru buka halaman pertama, buku ini langsung bilang,

“Kitab peladjaran Bahasa Indonesia Untuk Sekolah Rendah,”

                Buku bahasa ini diperuntukan  untuk murid kelas III (Tengah Tahun Ke-1). Aku gak tahu nih W.VERSLUYS NV. AMSTERDAM-DJAKARTA ini  penerbit buku ini apa bukan. Wah, aku jadi tertarik pengen tahu sejaarah penerbit buku-buku pelajaran lawas seperti ini. Walau aku bukan peneliti, periset, ataupun dosen bahasa Indonesia, semoga bisa terus mendalami ilmu kanuragan memahami buku-buku lawas seperti ini.  Kalaupun ada penelitiannya semoga aku bisa membacanya. Amin ya Allah.

                Mataku selalu tergoda dengan gambar-gambar atau ilustrasi di sebuah buku. Gambar-gambar yang disajikan di buku ini membuatku terenyuh. Kebanyakan gambar berupa anak-anak tak bersanda-dan bersepatu. Nah loh, sejak kapan imajinasi kita di sekolah-sekolah diwajibkan bersepatu. Kalau di buku pelajaran seperti tahun 50-an ini saja banyak gambar anak tak bersepatu. Eh, di kuliah atau kampus kita gak boleh pake sandal. Kadang –kadang terpampang sangar, “Mahasiswa Gondrong dan Bersandal Dilarang Masuk”. Sial.

                Kadang-kadang aku geli. Di cerita buku-buku ini ada yang namanya Mesum, Tembem, dan lain-lain. Bukannya aku mengejek. Aku merasa buku ini tak masalah dengan nama-nama seperti itu. Makanya kalau kita lihat nama-nama terdahulu, kakek, nenek kita namanya aneh-aneh. Aku sempat mendengarkan cerita nenekku dengan nenek-nenek lainnya (banyak bener nenek-nenek) ngomongin nama-nama itu. Terdengar nama Centong, Pengki, Ribut, banyak deh. Aku lupa. Imajinasi orang tua dulu gak sampai membuat nama keren-keren seperti Rianto, Rianto, Rianto.. Hehehe.

                Membaca cerita di buku bahasa ini  begitu asik. Ah, aku jadi bocah kembali. Keseharian kita adalah bahasa. Buku ini pun begitu banyak cerita sehari-hari yang diangkat. Beuh, ada pelajaran mengarang berawal dari gambar. Nah dulu pelajaran mengarang seperti ini aku sering diomeli ibu. AKu memang gak pandai mengarang waktu SD kelas tiga.

                Batjaan-batjaan selalu dihadirkan dalam buku ini. Mungkin biar murid-murid  kala itu biar cepat pandai baca. Ada dalam cerita di buku ini Si Topo  enggak mau jajan di luar. Lihat dialogmya,

Si Topo suka sekali mengudap. Tiap2 hari ia makan2 diwarung-warung dipinggir djalan. Si Amir diadjaknya:
“Ajo, Mir kita makan gado-gado biar aku bajar”

“Ah tidak Po, terima kasih”, djawab si Amir.

“Aku tak suka djadjan dipinggir Djalan.”

Setiap bacaan selalu ditampilkan gambar-gambar. Aku jadi melihat kembali imajinasi orang-orang dulu tak bersepatu dan bersandal di gambar itu. Setan alas! Nyekermen lebih yahud..

Aku tertarik dengan bacaan berjudul “AWAN”. Di sini aku mendapatkam imajinasi geografi, ruang, berada dalam bacaan ini. Gambar yang disajikan pun membuatku membayangkan rumahku, kampungku yang terkadang masih bisa bermain di halaman yang luas. Percakapan anak dan ayah dalam bacaan ini memuat imajiku berkata bahasa dan geografi begitu berdekatkan. Semoga aku berjodoh dengan anak bahasa. Semoga. 

Imaji anak tentang geografis terjadi saat anak itu bertanya,

“Mengapa awan2 hitam ini tepat djalannya ajah?” tanja si Amir kepada Ajahnja.

“Awan hitam ini rendah,” djawab ajahnja.

“Djadi djelas kelihatan ia bergerak. Inilah jang disebutkan awan hudjan”

Dari percakapan ini membuatku teduh. Tentu berbeda jawaban kalau Amir sekarang generasi Tablet. Ketika ia bertanya pada mbah google, wah lebih dahsyat jawabannya. Tetapi jawaban dari Ajah Amir membuatku berfikir bahasa menjadi agenda kita mengenalkan apapun. Aku bersyukur menjadi mahkluk membaca dan berbahasa. Makhluk yang ingin selalu tidur dengan buku dan kata. Karena aku ingin menjadi makhluk yang bermakna. Tuhan aku inigin kau jadikan aku sebagai serigala kata-kata. Buas dan haus akan daging yang berbau kata. Sayang, semoga dongengku kali ini membuatmu terlelap kembali dengan kata-kata..


Posted on Senin, Maret 10, 2014 by Rianto

2 comments

Sabtu, 08 Maret 2014



Jakarta kota berbuku. Aku, Aang, Handi, dan Hadi berangkat ke Blok M. Dua orang lagi, Pipi dan Yanu duluan ke Senayan berburu buku juga. Ritual mandi buku, berharap mata, tangan, dan kaki menjadi tubuh yang berbuku. Mencoba rehat dari tubuh yang begitu sepi akan kampus. Atau keluar dari riuhnya kampus yang bermotor dan bermobil.

Malam minggu kala itu aku merasa  malam yang berisi kartun-kartun. Ah tidak, jiwa bocahku terpanggil untuk memiliki buku-buku beraroma kartun dan karikatur. Dari Panji Koming, Om Pasikom, Charles Dickens untuk remaja. Sampai buku Indonesiana berisi kisah lucu-lucu tapi bahasa inggris. Sedih.

 Mendapatkan uang  honor menulis di KORAN akan aku balas dengan membeli buku-buku. Sialnya, saya tak sempat mengucap istighfar. Jadinya aku membeli buku lebih dari honor yang diterima. 

Tanganku yang nakal, mengubrak-abrik buku-buku murah sepuluh ribuan membuatku mendapatkan buku karya Ramelan, S, “Si Kabayan”. Duh, ini dia salah satu tokoh imajinatif yang aku sukai dulu. Ingatan-ingatan bocahku tentang si Kabayan jarang menemuinya berbentuk buku. Si Kabayan lebih aku kenal di televisi dibanding buku. 

Si Kabayan bergambar ini adalah buku pelajaran. Bagus, aku ingin terus memeriksa, menjadi bagian orang-orang yang mengurusi buku-buku pelajaran bergambar. Saat aku membuka lembar kedua, barulah di dalam buku itu disebutkan,

“bacaan bergambar anak-anak sekolah dasar,”

           Ha, baca buku ini bener-bener disuguhkan oleh candaan-candaan Si Kabayan. Kadang-kadang buatku sedih juga sih. Si Kabayan di gambarkan penulis sebagai,

“Anak yang bodoh tetapi sangat lucu. Dalam buku ini dapat kita baca hal-hal yang lucu disebabkan oleh kebodohannya itu”

Singkat cerita,

Si Kabayan jualan es mambo. Tahukan es mambo? Yang harganya seribu atau gopek tapi esnya panjang bener…  Kasihan deh yang udah lupa. Nah, ada deh tuh bocah-bocah yang mau beli es mambonya. 

Mereka pun berkata,

“Kabayan , aku mau beli es mambomu, tapi sebelumnya, kalau enak, es mambomu aku bayar. Kalau tidak enak, tidak dibayar,”

Kabayan menjawab,

“Oooo,,, boleh. Es mamboku enak, sudah tersohor.

Sesudah 5 buah es lilin habis dimakannya, yang membeli es berkata,

“es mambomu tidak enak rasanya, jadi aku tidak bisa membayarnya.”

“ooooh….., tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” kata si Kabayan sambil tertawa.

Astaga, si kabayan kena kibul.. Aku tertawa membaca kisah ini.

si Kabayan jualan es mambo
                Ah, menurutku masa kecil adalah masa yang kita rindukan kebodohannya. Dalam percintaan, permainan, kebodohan adalah anugerah. Loh, masa iya?

                Kalau kita kumpul-kumpul dengan teman-teman se-bocah dulu, kejadian-kejadian bodoh yang kita alami adalah kisah-kisah yang mengundang kelucuan. Manusia adalah makhluk melucu. Membaca buku Si Kabayan menjadi agenda asik mengembalikan kebocahan dan kelucuan kita sebagai manusia. 

Di akhir buku, aku melihat teks lucu mengajak kita kembali menjadi bocah-bocah berseragam merah putih,

“Ajaklah semua temanmu umur 7 sampai 12 tahun masuk sekolah,”  dan berkata pula, “Sebaiknya kuajak temanku yang belum bersekolah agar ia pandai seperti teman-teman kelasku.”

ya tuhan, semoga aku bisa mengartikannya
Inget, besok hari senen loh? Keasikan dan kelucuan kita bakal tenggelam di ambil monster kota yang ada di mana-mana. Mereka mengintai di sekolah, di kampus, di kereta, di bus-bus. Ah manusia kota kalau mau, aku mau minjemin ini buku sebagai senjata melawan monster kota yang menghakimi kita dengan kebosann-kebosanan.

Sayang, apa kabar hari ini?

Aku bercerita untukmu. Semoga minggu ini kamu menjadi bocah kembali..

Selalu ceria dan esok kita menjadi manusia lucu dan menggemaskan….

  






Posted on Sabtu, Maret 08, 2014 by Rianto

No comments