Indonesia negeri penuh kelucuan. Bukan hanya dari orang-orangnya. Kelucuan pun ada di kartun-kartun, komik, ataupun karikatur. Ah, aku lebih suka membaca kartun dibanding membaca berita politik, politik, politik. Padahal toh, membaca komik, karikatur membaca politik pula. Nah, kalau gitu aku mau cerita ini buku. Minggu kemarin benar-benar hari berkartun ria. Dua buku Panji Koming  aku dapatkan. Pertama buku Panji Koming kumpulan 85-86 (1999) ini aku dapatkan saat pesta buku islam di Senayan. Satu lagi Panji Koming kumpulan 79-84 (1992) waktu berkunjung ke Blok M.

Buku ini menjadi penyiram dahaga mataku akan kecintaan terhadap gambar-gambar. Padahal buku ini sebagai bukti menutupi kesedihanku karena tidak bisa menggambar. Loh!

Tapi, aku ingin menjadi penonton yang menganggap kartun sebagai ilmu. Semoga dari sini pula bisa mengantarkan aku kesebuah rasa kehausan hebat akan keilmuan yang akan mengajakku terus bermesraan dengan buku dan kata. Nah, akhirnya aku menjadi  pendongeng ke mana-mana.

Begitulah mesti aku gak bisa gambar aku kepingin juga menjadi bagian dari keluarga besar komikus/karikaturis. Aku komikus kata-kata. Aku akan menjadi pendongeng komik-komik, kartun, karikatur Indonesia. 

Jadi  aku gak bakal minder kalau ketemu sama komikus-komikus hebat. Mesti gak bisa gambar aku ingin mengkoleksi buku-buku berbau kartun dan karikatur. Dari situ aku yakin, ada cerita hebat dari goresan kartun-kartun ataupun karikatur yang mesti aku ceritakan ke kamu.  Mereka turut juga menghias dan menceritakan Indonesia.

YB Mangunwijaya dalam kata pengantar Panji Koming kumpulan 79-84 mengatakan,

“Kartun yang baik seperti kincir angin, mampu memompa air penghidupan serta energi yang diperlukan oleh kehidupan dan penghidupan bersama masyarakat yang normal sehat, walaupun daya pemutarnya hanyalah angin yang empuk lembut. Itu adalah  berkat gaya humornya”

Emang orang-orang gampang kepanasan. Kartun menjadi kincir angin yang mampu menggelitik kehidupan kita, bikin adem, bisa juga membuat kita berfikir. Kartun hadir memberikan energi kita untuk menjadi manusia yang tertawa. Kota adalah monster pemakan tawa. Hidup kita kering tanpa humor. Kartunlah datang memberikan angin segar bagi kita yang coba menghayati, menimang-nimang kartun sebagai puyer tawa.

Aku merasa deg-degan saat Dwi Koen sebagai IBU dari Panji Koming ini mendapatkan pengalaman-pengalaman hebat dalam melahirkan karyanya itu. Dwi koen  dalam Panji Koming kumpulan 85-86 bercerita,

“Selama sembilan belas tahun, Panji Koming telah menjadi  kegiatan rutin  setiap akhir minggu. Menjadi teman ngocol  di penghujung tahun 80-an, wilayah ngocol semakin dibatasi, serasa masuk kandang ayam kate. Sedikit-sedikit ditelpon. Diminta agar kita tahu diri, justru oleh sesama orang yang tidak tahu diri”

Orde baru memang  monster pemakan kreativitas. Orde baru menjadi momok orang-orang untuk bebas berkreasi. Justri disitulah semakin menandakan bahwa MILITER lebih takut dengan KARTUN dibanding bom. Penguasa tidak punya selera humor. Negara menginjak tawa. 

Dari kartun kita bisa melihat sejarah Indonesia. Panji koming menjadi bagian yang mengisahkan kita akan Indonesia. Mereka datang bukan hanya untuk melucu dan menggelitik. Mereka hadir menjadi pewarna, moster kata-kata melawan penguasa.

            Membaca lembar demi lembar, aku tertarik dengan dialog Pailul dan Koming yang ngobrol tentang banjir.  Menurut mereka ada tiga hal yang harus diselamatkan dalam banjir. Pertama, selamatkan nyawa. Kedua, harta benda seperlunya, ketiga, selamatkan wibawa. Aku tertawa melihat raja yang dipayungi ditandu oleh rakyat akhirnya jatuh juga kena banjir. Dialog-dialog cerdas serta gambar yang ditampilkan Dwi Koen bisa menjadi cermin kita sendiri. Terutama cermin bagi penguasa.

            Dengan memiliki dua buku ini aku merasa hebat. Hebat dalam artian aku bakal mampu bercerita mengenai kehebatan kartun-kartun kita yang pernah nampang di koran-koran. Aku bakal sudi bercerita bagi siapa saja, istriku, keluargaku, teman-temanku bahwa dari hal lucu kita bisa mewarnai Indoensia.

Sayangku, semoga kamu bersedia membaca buku ini. Semoga kita mampu menertawakan dunia, menertawakan penguasa. Dari sini kita bisa menjadi orang yang tak melulu serius dalam urusan dunia. Aku mau bersama kamu tertawa, tergelitik, dari gambar merajut kata dan makna. Sayang, kehidupan mesti penuh dengan tawa, bukan uang! Hiks…!