Selasa, 27 Mei 2014


Senin 17 Maret 2014 di Lobby Gedung Sertifikasi Guru Universitas Negeri Jakarta (UNJ) diadakan peluncuran buku yang ditulis oleh mahasiswa-mahasiswi UNJ.  Peluncuran buku ini digawangi oleh para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ. Peluncuran enam buku ini diterbitkan oleh Pustaka Kaji. Penerbit independen yang diusahakan pula oleh LKM UNJ. Peluncuran buku ini dihadiri hampir 40 orang terdiri dari mahasiswa dan dosen.

Peluncuran buku diawali dengan kuliah umum tentang “Manusia dan Modernitas” oleh budayawan Romo Mudji Sutrisno serta Irsyad Ridho selaku dosen pembimbing LKM sebagai pembicara. Dalam Kuliah Umum, Romo Mudji mengingatkan mahasiswa tentang kegiatan menulis sebagai jalan kebudayaan. ”Dengan menulis buku,” kata Romo “ mahasiswa bisa disejajarkan dengan pendiri bangsa ini”.

Para pendiri bangsa menuangkan perjuangannya melalui menulis, menyebarkan gagasan dan ide melalui buku-buku. Iryad Ridho pun menilai, buku-buku lembaga kajian yang dituliskan oleh mahasiswa yang tergabung LKM UNJ ini menjadi narasi melankolis tentang modernitas kota dan desa. “Mereka menulis tentang kehidupan kota dan desa, yang bisa dilihat ketimpangannya,” katanya.

Romo Mudji sangat mengapresiasi acara peluncuran buku ini. Romo Mudji merupakan budayawan yang memberikan kata pengantar di salah satu buku yang diterbitkan yakni buku “Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran”. Buku ini berkisah tentang catatan perjalanan mahasiswa UNJ merekam budaya menganyam boboko (bakul) di Desa Trajaya, Kabupaten Majalengka. Menurut Romo, dengan masuk ke jantung kehidupan masyarakat pengrajin itu tulisan-tulisan mereka telah memenuhi kelangkaan  narasi inspiratif pendidikan, merenungi kemiskinan kultural dan struktural.

Hamzah Ali  menjadi editor sekaligus mentor menulis utama. Hamzah Ali pun menulis kata pengantar di buku “Landmark Jakarta” dan  “Endemik Modernitas”. Kedua buku ini mengulik tentang Jakarta. Dalam diskusi peluncuran buku Hamzah mengatakan, tulisan-tulisan di buku Landmark Jakarta tidak hanya berbicara tentang landmark Jakarta seperti Monas, Gelora Bung Karno, tetapi juga berbicara relasi ruang publik. Pun demikian di buku Endemik Modernitas yang banyak berkisah mengenai pembangunan-pembangunan Jakarta seperti Busway dan Waterway.  

Sedangkan dibuku “Hikayat Kampung Jakarta”, Putu Setia memberikan testimoni.  Menurutnya buku ini jadi pernak-pernik betawi yang ringan. Mereka menulis tentang hiruk pikuk kehidupan gang-gang di Jakarta. Contohnya tulisan Tina Rosiana mahasiswa Pendidikan Kesejahteraan Keluarga UNJ 2011 mengulik kehidupan di Gang Kapitan Rt 16/Rw 04 Klender Jakarta Timur. Tina menulis kehidupan para tukang nasi goreng yang tinggal di gang tersebut. Menurutnya saat reportase kesana Tina menemukan lautan gerobak nasi goreng yang diparkir di gang-gang dekat mereka tinggal.
 
Begitupuladi  buku “Masyarakat Desa” di mana mahasiswa merekam, menulis kehidupan di desa Cikopak, Sukabumi. Buku  ini ditulis saat mereka melakukan bakti sosial di desa Cikopak. Mereka tidak hanya membantu mengecat sekolah dan memberikan sumbangan buku-buku. Mereka pun menulis kehidupan hening desa Cikopak melalui buku ini. Lalu, satu buku lagi yakni “Manusia Kampus” menjadi narasi lucu dan inspiratif  mengenai pernak-pernik kehidupan kampus UNJ yang berisi tentang komunitas-komunitas serta kegiatan mahasiswa UNJ.

Rara mahasiswa jurusan seni musik  UNJ 2010 mengatakan, kagum dengan mahasiswa yang tergabung Lembaga Kajian Mahasiswa yang sudah  mampu menerbitkan buku sebelum lulus kuliah. Tentunya ini sebuah prestasi yang membanggakan dan menggugah mahasiswa lain untuk menulis. 

Peluncuran enam buku yang dilakukan oleh mahasiswa UNJ menjadi oase karya ditengah genitnya mahasiswa dicap sebagai generasi yang hanya bisa berdemo. Menulis buku menjadi jalan kebudayaan merenung sunyi gagasan mahasiswa berupa kata-kata yang tertulis dalam buku. Dengan menulis buku menjadi sumbangan besar dalam menghidupi kembali lilin  literasi kampus yang kian memudar. Di akhir acara, ada pemotongan tumpeng menjadi perayaan sekaligus do’a agar  LKM UNJ terus berkarya. Bravo buat LKM UNJ!

Tulisan non edit. Pernah maasuk di rubrik kompaskampus (22/4/2014) 



Posted on Selasa, Mei 27, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 26 Mei 2014

Sulit membayangkan bangkitnya nasionalisme kita tanpa peran buku-buku. Ben Anderson dalam tesisnya yang terkenal “komunitas terbayang” merujuk pada kebangkitan cetakan dan buku. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh para pejuang kemerdekaan kita turut andil membentuk imajinasi bangkit dari penjajahan.

Kita terharu dengan perjuangan Tan Malaka yang mesti membuang buku-buku pentingnya di laut saat diinterograsi oleh intel asing. Padahal buku-buku itu menjadi pemantik semangat Tan Malaka dalam menulis risalah-risalah poltik penting.

                Tan Malaka yang terapung-apung di negeri orang selama 20 tahun memantik perjuangan-perjuangan bangsanya dengan menulis dan menyebarkan gagasan melalui buku. Tan Malaka menulis puluhan buku dan risalah untuk menyebar ide-ide antikolonialisme.

                Kebangkitan nasional melalui buku juga diamini Adinegoro. Adinegoro (1949) dalam bukunya “Falsafah Ratoe Doenia” menekankan akan kemajuan dan kebangkitan bangsa dimulai dari membaca buku. Dari membaca buku itu akan terukir karya-karya hebat berupa tulisan-tulisan. Lawatan Adinegoro ke negeri barat, membawa keyakinan akan kekuatan buku menjadi kunci bangkitnya peradaban suatu bangsa.

                Kita meyakini buku mampu mencerahkan peradaban suatu bangsa. Buku membuat ide-ide pencerahan memantik peradaban. Buku membongkar gerbang kebodohan dan kelaliman. Buku membuat pelajar-pelajar terdahulu melek akan peradaban. Membangkitakan Indonesia menjadi negeri pembaca dan berbuku. Di siniah suatu bangsa maju karena buku-buku.

                Kini kebangkitan nasional mesti dirayakan dengan hidup berbuku. Bukan saja merayakan kebangkitan nasional dengan melakukan gerak jalan dan funbike. Mendapatkan hadiah lalu membekukanya lewat foto-foto di twitter, facebook dan instagram. Kebangkitan nasional pun bisa kita rayakan dengan sederhana. Mengunjungi toko buku, membeli buku, membacanya, lalu berbagi cerita. Dari cerita-cerita itu kita merawat akal sehat. Sebuah siasat merawat Indonesia melalui cerita, kata, dan buku.

*tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa koran Sindo (24/5/2014)


Posted on Senin, Mei 26, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 03 Mei 2014


Buku ini kalau kamu ingin tahu, sering aku temui di toko buku macam blok m ataupun  pasar senen. Aku belum bisa menyentuh, ataupun membaca, membawanya ke kamar tidur. Menemani malam penuh kata dan puisi. Nah, sekarang aku sudah punya ini buku. Kebutaan akan puisi menambah aku mabuk akan tafsir puisi-puisi yang digubah dalam buku Ajip Rosidi, “Terkenang Topeng Cirebon” membuatku ingin sekali mencium makna ini buku. 

Tulisan panjang mengenai tafsir puisi gubahan Ajip Rosidi pertama kali aku kenal lewat buku A.Teuuw yakni Tergantung Pada Kata. Wah, Teeuw membahas panjang puisi Jante Arkidam. Seorang jagoan yang dikisahkan secara puitik oleh Ajip Rosidi.  Kamu tahu, buku itu aku pinjamkan kepada temanku. Asik jadi do’a kalau punya buku berguna untuk orang lain.

 Buku yang diterbitkan oleh pustaka Jaya (1993) ini dipilih dari 8 kumpulan sajak Ajip Rosidi: Ketemu di Jalan (1956), Pesta (1956), Ular dan Kabut (1973), Sajak-Sajak Anak Matahari (1979), dan Nama dan Makna (1988).

A.Teeuw dalam membaca sajak-sajak Ajip Rosidi mengatakan dalam kata penganatar ini buku bahwa,
“Ajip Rosidi selaku Penyir dapat kita cirikan dengan empat sebutan: pengaku, penggugat, perawi, dan perenung.”

Namun dari keempat sifat itu Teeuw menganggap sifat pengakunyalah yang paling dominan dalam puisi-puisinya. Sajak-sajaknya terlihat sekali menunjukan pengakuan Ajip Rosidi sebagai orang yang beriman kepada Allah SWt. Itu terlihat secara eksplisit di puisi-puisi macam ‘kau paling aku dari aku’ (“Sajak buat Tuhan I”)

Dan aku begitu terharu kalau membaca pembahasan sajak-sajak yang menunjukan Ajip Rosidi sebagai perawi. Perawi adalah pengisah. Kamu tahu, tak ada yang merasa hebat kecuali dia adalah pengisah. Aku ingin menjadi pengisah seperti Ajip. Yang dalam sajak-sajaknya seolah-olah ia adalah pengisah mengenai kebudayaan yang dengan sudi berkisah menceritakan kembali tema dan motif masyarakat Sunda di masa lampau maupun masa kini.

Namun tak begitu mengherankan pikiran dan hatiku ketika Ajip dalam puisi-puisinya menggambarkan tanah kelahirannya yang kedua yakni : Jakarta. Dalam pembahasan Penyair sebagai perenung dapat diketahui sajak-sajak Ajip Rosidi yang berkisah melaui kata tentang Jakarta. Mari kita simak sajak Ajip berjudul Lagu Jakarta, //tiada nyanyi seduka jakarta//menempel pada bibir kering//menggigil oleh malaria//menyumpahi hari penghisap.

Begitu dukahkah Jakarta yang dipenuhi dengan malaria. Orkestra Jakarta penuh dengan bunga-bunga lumpur ciliwung begitu Ajip menggambarkan dengan: //semua telah hilang asli//dibedaki lumpur ciliwing//semua telah hilang arti//diwarnai langit lembayung//

Inilah teks puisi yang menjelma wajah Jakarta dalam tafisran puisi Ajip. Kamu mesti ingat Jakarta begitu duka bagi kita. Siap melukai kita. Jakarta pun tak ubahnya hanya, //tinggal pergulatan dalam kerja//karena darah harus mengalir/dan kehendak beribu rupa//dalam hidup kota berjuta//


Wah, aku berniat mengutip puisi-puisi Ajip dalam tulisan esaiku kelak tentang Jakarta sebagai kota kelahiran keduaku juga. Aku tak tahu, apakah Jakarta kota kelahiranmu yang kedua pula? Kota menjadi agenda penting kita untuk mengungkap wajah-wajah kitch kita. Membogkar kepalsuan akan imajinasi dan bayang-bayang. Aduhai, puisi menjadi jalan untuk mengerti wajah Jakarta itu. Yah, persis apa yang diungkap Teeuw sebagai pertentangan antara kota sebagai tempat sengsara dengan pedesaan di mana rakyat sederhana hidup dalam keamanan.

Apa kamu punya kuda? Kamu tahu kamu bakal merindukan apapun yang pernah menjelma yang mengeras dalam hatimu. Apapun itu. Persis dalam puisi “Anak Sumbawa” yang begitu kangen berat dengan kuda kesayangganya di desa, walau ia sudah punya sepeda di kota. Yang di desa adalah memori yang tak tergantikan.

Selamat tidur sayang.....



Posted on Sabtu, Mei 03, 2014 by Rianto

No comments