Kamis, 25 September 2014

Debu dan deru knalpot metro mini menggumam di macet siang itu. Pasar Senen begitu lelah dan gerah dengan kerumunan orang-orang kota di sebuah lampu merah yang ramai.  Pengamen kecil dengan  suaranya yang serak bernyanyi bak Jojo keong racun.  

            “Baru kenal kok ngajak tidur, “ begitu dia menyanyi.

            Di sebuah toko Triarga, belakang bioskop yang bobrok itulah aku bertemu dengan ribuan buku dengan banyak pengarang. Penjelajahan penuh gairah bertemu dengan buku, tokoh, wacana,  kata.  Bertemu dengan catatan seorang pemuda yang menghembuskan nafas terakhir akibat motor yang berlari kencang menabrak dirinya 31 Maret 1973.  Meninggalkan 17 jilid buku catatan di mejanya. Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir, “ Catatan“,  menulis, 

            ...Ahmad Wahib  pada umur 31 tahun, meninggalkan 17 jilid itu sebagai  sesuatu yang belum selesai. Tapi apa arti selesai sebenarnya? Ketika kemudian catatan itu kita baca, kita tahu Wahib membuka jalan  ke sebuah hamparan yang luas, penuh lurah, liang gua, juga belukar keras, di mana Tuhan, Quran, dan iman dipersoalkan..

            Di manakah catatan itu yang diterbitkan sebagai buku? Oh, barangkali catatan yang tertumpuk debu itu yang terselip di ribuan buku di toko berlantai tiga itu hanya aku ketahui sebagai catatan yang pernah kawanku yang kini menjadi dosen di jurusan Sosiologi UNJ berkomentar, “Nanti gak mau sholat lu,“ begitu komentarnya jika kita membaca catatan Wahib.  Kita tertawa dengan lega.

            Mungkin pemuda yang tak dikenal itu bagiku ingin sekali kepolosan dalam hatinya sebagai  yang biasa. Wahib dalam catatanya ini menarik kita ajukan hipotesa bahwa Wahib pun adalah makhluk kebudayaan.  Bergeliat dengan katakanlah Wahib tak melulu berbicara ayat suci. Aku memandang Wahib dengan tanpa ayat apapun. Mesti Tuhan yang dipertanyakan merupakan inti dari pergolakan pemikiran Ahmad Wahib.

            Buku catatan Ahwad Wahib itu aku dapatkan di toko buku Triarga, Senen di belakang bioskop yang bobrok.

            Bagiku Ahwad Wahib menarik dikaji secara kebudayaan. Ah, aku mesti mengutip apa yang di katakan Raymond Williams sebagai kebudayaan sehari-hari. Bukankah catatan harian Ahmad Wahib terdapat kata kunci kebudayaan yang menarik kita ajukan sebagai tesis bahwa  Wahib orang biasa yang suka dengan budaya sehari-hari yang remeh temeh. 

Dalam catatan bertanggal 17 Agustus Ahmad Wahib menulis, 

…Kekasih engkaulah matahari yang tak perrnah terbenam. Engkaulah yang mengajari pelita bercahaya... kata-kata yang padat berisi ini ku dengar dalam filem Romeo and Juliet yang kutonton tadi malam. Tuhan menganugerahkan cinta antar dua remaja, dan Shakespeare menggali anugerah cinta itu… 

       Wahib menyatakan seniman selalu berbicara pada  keadaan yang paling hakiki. Cinta sebagai yang hakiki yang sedikit nan lucu Wahib nyatakan dalam catatan yang terselip pendek, rapi dan licin.  Oleh karena itu, “Seseorang manusia seniman” kata Wahib,  “ adalah orang yang paling potensial bertemu dengan Tuhan”

            Catatan-catatan kebudayaan tentang seni, musik, film, kota, warung bahkan cinta barangkali luput dari cerita Wahib yang melulu dipandang secara sebagai pemuda yang kritis atas agama. 

            Sebelumnya tanggal 2 Juni 1969, Wahib menulis catatatan usai menonton sebuah ballet  yang mempesonakan.  “The  First Chamber of Dance Quartet,” kata Wahib, “ adalah bentuk  tarian ballet asli yang pertama kali saya tonton  kemarin di THR dua setengah jam." Dari tarian ballet itu nalar wahib mengelana pada tokoh, tema, cinta dan ingatan akan seorang  yang ia cintai.

            Januari lalu, di galeri cipta tiga Taman Ismail Marzuki,  Romo Mudji mengadakan pameran sketsa warnanya. Kisah Borobudur yang ia maknai secara budaya dalam sketsa-sketsa tersimpan makna, tak beku, batu, bisu.  Barangkali Ahmad Wahib pun demikian, dalam catatannya Borobudur  10 November 1969 ia menulis, 

…Mengagumkan. Suatu kedahsyatan tangan manusia dan kedalaman pertemuan dengan Tuhan tertulis dengan jelas dalam suatu bangunan mahabesar  dengan stupa-stupa, relief-relief dan mahkota puncaknya. Candi ini, terlepas dari riwayat pembuatannya yang mungkin menelan ribuan korban dengan penindasan rakyat, merupakan monumen yang baik sekali untuk mempelajari sebagian dari sejarah masa lalu...

             Ingatan akan arsitektur  barangkali merupakn cermin hidup kita.  Persisi seperti Romo Mangun ungkap dalam bukunya Wastu Citra mengingatkan kita tentang mentalitas arsitektur yang mencerminkan etos hidup. Oh, kita hidup seperti burung manyar yang menenun sebuah asitektur  agar bermakna!

            Pasar yang tak henti berdialog dengan gema hidup pun menjadi catatan Wahib yang menarik. Wahib justru sadar membaca buku saja tak cukup. Kaki kesti melangkah ke sebuah pasar. Menurut Wahib pikiran-pikiran perlu dipersegar dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
“Karena itu tadi pagi,“ kata Wahib,  “Aku berjalan kaki sepanjang kurang lebih tiga kilometer, masuk ke pasar lihat orang jual semprong dan sebagainya."

            Lalu aku terharu  pada catatan hidup yang gersang  9 Oktober 1972,  Wahib di sebuah warung  mengingat rumah . Rumah menjadi tempat yang Wahib rindukan. Ia menulis setelah berbuka puasa di sebuah warung. Justru pengalaman rohani terjadi di warung. 

...sukar menduga, apakah ini akan  merupakan penagalamna rohani yang berarti.  Semua ini tergantung pada upaya batinku sendiri untuk memanfaatkan  makna yang dalam pada sebuah lintasan hidup..

Posted on Kamis, September 25, 2014 by Rianto

No comments

Rabu, 24 September 2014

                 Imajinasi akan pasir-pasir suci nan haru tak lain adalah mengenang Haji. Taufiq Ismail mengatakan perjalanan haji sebagai perjalanan penuh air mata. Haji Danarto mengajakku melintas kota, mitos, do’a,  makian, serta haru dalam haji.  Lalu apa yang membedakan Haji Danarto dengan haji lainnya? Ini menarik. Danarto menuliskan kisahnya dalam buku alit Orang Jawa Naik Haji. Taufiq Ismail berkomentar,

"Danarto yang kapas itu. Luluh dan lumat di hamparan terik padang pasir Arafah, tersaruk-saruk di mas’a dan tersungkur sujud, menangis, di atas pualam Masjidil Haram“

            Perjalanan haji  memuat kisah dan makna. Haji Danarto konon berkisah tentang do’a sapu jagat yang mengantarkan jemaah-jemah tenang menenun haji dengan bermodal do’a pendek itu. Tuhan menciptakan bahasa, berujung do’a yang memudahkan umatnya. Kini do'a singkat penuh haru itu menjadi pengantar haji yang tak bisa membaca dan menulis.

            Danarto menulis, “ Jika ternyata anda buta huruf, ya kitab suci itu dipegang-pegang saja cukup. Lalu dibalik-balik, kayaknya bisa membaca, gitu,“ mengutip pembimbing hajinya saat di asrama Pondok Gede.

            Perjalanan haji membawa ketakutan. Haji Danarto takut, hajinya tidak membawa berkah. Danarto pernah ditanya oleh temannya, masa kok sehabis ke paris langsung naik haji, dari mana uangnya? Haji adalah adegan  menjaga diri dari tubuh yaag ringkih akan dosa. Danarto pun berdo’a  

 “Wahai mataku, mulutku, dan telingaku, tertutuplah kamu dari hal-hal di luar ibadat," ujar saya kepada anggota-anggota badan saya.

            Haji semacam keluh yang tak terobati. Keluh dan keluh berujung cerita menarik yang diungkap Haji Danarto. Menurutku, seniman Danarto ini berkisah hal-hal remeh temah tentang haji menjadi kisah haji yang lucu nan kritik. Sepasang kakek-nenek yang  selalu ribut di dalam pesawat yang jarang air untuk berwudhu dan salat. Haji begitu menguji hambanya!

            Imaji-imaji tentang  manusia dan arsitektur terbalut makna nan hakiki tentang ruang. Barangkali manusia memuji tuhan dengan gayanya yang kolosal: butuh arsitektur sebagai pengingat.  Masjid Nabawi begitu menjadi magnet kita yang berhaji. D sanalah ada  sejarah mitos berbalut do’a nan haru hadir  memuji tuhan. 

......Bersolat disamping makam Nabi, hati jadi begitu berbahagia, kata sementara jemaah. Dan dari sinilah perjuangan untuk mendapatkan tempat yang terbaik bermula...(hal 17)

           Oh ada kisah copet  juga dikisahkan Haji Danarto.  Siwalan, begitu Danarto ketika kesal melihat keadaan berhaji. Henri Chambert-Loir mengisahkan buku ini menjadi refensi menarik dalam menalaah kisah haji.  Bagiku buku Danarto ini menjadi kisah orang dan kota. Gambarkan kota dan manusia di tanah suci  tahun 85-an  ini tentang hal-hal yang ringan. Aku merasa membaca buku ini kisah seniman berhaji dengan gaya bertutur. 

            Aku merasa berhaji bersama Danarto. Bertemu  Kota Mina yang jorok namun tetap dicintai. Percekcokan antar Arab-dan Arab. Tidur dengan blower yang mengundang sakit. Melempar jumrah dengan jam tangan. Ah, kisah haji  bernama manusia yang tetap dalam khasanah yang hakiki:  memohon  mati di tanah suci.
           

Posted on Rabu, September 24, 2014 by Rianto

No comments

Jumat, 12 September 2014

Kucing-kucing bertebaran di lorong. Anjing-anjing berjingkat santai melintas sebuah toko. Sepeda bersender begitu saja di dekat toko. Dari sana terlihat James Robert yang pernah menjadi lawan tinju Hemingway berada dekat toko itu. Dengan kecepatan keong ia mendorong sepedanya yang bobrok.

            Pertemuan Michael Pearson dengan “Iron baby”-panggilan James Robert- itu terdapat kisah mengenai Hemingway. Biografi Hemingway dapat saja ditemukan disudut toko-toko buku loakan. Namun, dalam diri “Si Bocah Besi” ada kesaksian ; Hemingway gemar bertinju dan terkadang mewasiti sebuah pertandingan tinju. 

            Michael Pearson menunjukan obsesi yang kuat. Mempertemukan kisah, buku, mitos, sejarah Hemingway dari penelusurannya yang remeh-temeh: menjejakan kaki di tempat-tempat imajiner di mana Hemingway hidup.

            Pengarang hidup di suatu tempat. Pearson begitu percaya dengan  ingatan bocahnya akan karya-karya Hemingway yang pernah dibacanya bertautan dengan tempat pengarang itu tinggal. Kita bisa membayangkan rumah seorang pengarang macam Hemingway. Kita bisa berimajinasi membayangkan sebuah karya muncul di rumah seorang pengarang.

            Rumah menjelma kisah yang tertulis. Inilah obsesi pembaca macam Michael Pearson menelusuri rumah Hemingway yang konon memasukinya mesti membayar 5 dolar. Kita bisa membayangkan tinggi Hemingway yang mesti membungkuk akibat pintu rumahnya yang pendek.

            Membaca karya sastra menjadi semacam ritual mengingat dan mengenang imajinasi si pengarang. Kita percaya membaca karya sastra berarti bertemu dengan pengarang.

            Pertemuan Pearson sebagai pembaca karya Hemingway dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Hemingway itu telah menjelma ritual membaca yang imajiner. Menjadi imaji bunga-bunga orkestra yang impresi. Begitu kuat kita terima sebagai dorongan memori.  Kita menduga pertemuan semacam itu yang didasari dengan obsesi dan kemampuan jurnalistik  mempersembahkan potongan-potongan kecil pengarang yang hidup dari ingatan-ingatan orang.

            Obsesi

            Kini obsesi mengetahui kehidupan seorang pengarang bisa terlihat dengan mudah di layar kaca. Kopi yang setengah panas dan sepotong gorengan yang sudah lembab menemani imajinasi kita yang mudah menemukan kicauan twitter seorang pengarang. Inilah obsesi membaca yang tergantikan dengan bahasa digital. Yang sampai-sampai pengarang macam Ahmad Tohari ngomel-ngomel di koran. Konon bahasa kita diganti oleh bahasa digital!

            Obsesi mengenai kata dan peristiwa yang tertulis dalam karya sastra memerlukan tubuh yang gerak. Di sebuah toko buku bekas De’lawas Tanjung Duren, Jakarta  misalnya saya menemukan orang-orang yang  begitu gemar mencari buku-buku yang  tertumpuk. Mencari pengarang yag terselip dalam debu. Dengan penerangan yang kurang membuat saya sendiri agak kesulitan melihat buku-buku dan nama pengarangnya.

            Lalu ada beberapa anak sekolah berseragam masuk toko buku bekas itu dengan gairah yang sulit diukur secara matematika. Mereka masuk dengan pertanyaaan sederhana, “mencari buku paket sekolah.” Sedangkan teman lainnya bertebaran mencari komik.  Dan beberapa lainnya mengotak-atik tumpukan  novel Agatha Cristie.

            Lalu mengapa peristiwa berlama-lama dalam sebuah toko buku  hanya untuk menemukan pengarang di sekian tumpukan ribuan buku dapat menimbulkan gairah? Sebuah pertemuan pembaca dan pengarang di sebuah toko bekas seperti itu semacam ritual yang menggairahkan. Mungkin itu yang disebut dengan obsesi.

            Pernah suatu sore sambil memakan jagung rebus di emperan samping Stasiun Senen dan beradu dengan  suara metro mini bercampur dentuman knalpot bajaj yang melengking, esais Bandung Mawardi berkisah tentang pertemuannya dengan Leila S Chudori pengarang novel Pulang.  Bandung merupakan pembaca karya-karya Leila.  Dari membaca itu dia diantarkan  bertemu dengan Leila. Lalu mereka mengobrol kata dan peristiwa di sebuah restauran mewah yang membuat Bandung Mawardi gerogi. Ini menjadi kisah pertemuan pembaca dengan pengarangnya.

            Budi Darma pernah menjawab dengan lugas akan ciptaan imajinasi peristiwa, kisah, tokoh dalam karya sastranya. Misal nama Olenka yang ia temukan ditumpukan buku telpon. Kita bakal bertemu dengan kesaksian Budi Darma yang begitu percaya “Obsesi” menjadi macam  mesiu pengarang yang penting di bukunya “Kritikus Adinan”.  Obsesi yang selalu bertepuk tangan dengan liar. Dalam sebuah wawancara dengan Zen Hae,  Budi Darma mesti membuka buku telpon yang tebal di dalamnya terselip nama Olenka dari ribuan nama lainnya yang mungkin saja menggodanya untuk dijadikan tokoh dalam karangan-karangannya.

            Pertemuan    

            Pembaca karya sastra selalu mempunyai titik temu. Gabriel Marquez begitu terharu bertemu dengan Hemingway hanya dengan lambaian tangan. Gabriel Marquez mengenang, “Saya mengenalnya segera setelah melihat dia melintas bersama istrinya Mary Welsh di Boulevard St. Michael di Paris pada suatu hari di musim semi yang hujan pada 1957. Dia berjalan di sisi lain jalan menuju Taman Lukemburg. Dia mengenakan celana koboy yang tampak kuat, kemeja wol dan topi pemain bola. Satu hal yang tak menampakan bukan miliknya adalah sepasang kacamata berbingkai logam. Kaca mata ini kecil sekali dan membuatnya seperti seorang yang  belum saatnya menjadi kakek.”

            Gabriel Marquez bingung. Pertemuanya dengan sang maestro hanya berakhir dengan jawaban kecil dari sang Mahaguru, “Adiooos, amigo!”

            Marquez percaya membaca novel-novel karya orang lain hanya untuk membayangkan bagaimana mereka menulis. Pernyataan Marquez pun diamini dengan kisah perjalanan Pearson yang menelusuri gang, rumah, kota kecil, meja yang berserakan, berdasarkan ingatan-ingatan orang di sekitar pengarang Hemingway.  Terkadang di sana ada kesaksian peristiwa, tokoh, mirip dengan kehidupan gerak tubuh si pengarang itu sendiri.

            Kita sebagai pembaca karya sastra, bersiaplah dengan pertemuan-pertemauan dengan pengarang. Menjadi manusia kota seperti Jakarta menjadi tempat yang menggairahkan bertemu dengan buku, kata, peristiwa, tokoh dan tentunya pengarang itu sendiri. Membawa buku menjdi do’a yang terselip dengan kisah yang terduga: sebuah pertemuan dengan pengarang.

             Sebagai Manusia kota kita tentunya tidak begitu bergairah jika suatu sore kita duduk-duduk  di bangku rumah dengan teman lama  di kampung. Lalu berkisah kepada teman: “hanya dosen dan setumpuk tugas saja yang aku temui di Jakarta.” Oh, kita patut bersedih sambil mendengar lagu picisan.

            
*Tulisan ini merupakan esai yang dimuat dibuletin sastra STOMATA

Posted on Jumat, September 12, 2014 by Rianto

No comments