Selasa, 31 Maret 2015

Sous le pont Mirabeu coule la Seine
(Di bawah jembatan Mirabeau mengalir Sungai Seine)

Sitor mengawali esainya Paris :Yang Dikenang, Yang Dilupakan (1999)  mengutip sajak “Le pont  Mirabeu “ oleh G. Apollinaire itu. Sungai yang membelah kota terkadang menjadi agenda tak pernah selesai sebagai pemantik imaji dalam bersajak.  Penyair selalu punya dalih dan mengingat ‘kilas balik’ sebuah kota melalui sajak. Simbol-simbol kota dan jejak perjalanan pada sajak yang digubah sang penyair menjadi kunci “membaca kota” sekaligus membaca biografi hidup sang penyair.

Kota-kota yang bersentuhan dengan penyair memantik ingatan “perjalanan” sang penyair dalam proses pematangan dalam mencipta sajak. Kita tak bisa pungkiri tubuh sang penyair yang membaca teduh dan gaduh kota mengingat prosesi itu dengan sajak. Barangkali kita bisa menikmati kota-kota yang tak pernah tersentuh, yang kadang nampak imajiner itu melalui puisi, esai, maupun cerita pendek sang sastrawan.

Penyair selalu ingin bergerak dari kota ke kota. Dari rumah ke rumah yang lain. Dari kampung halaman ke kampung halaman yang lain. Penyair selalu punya “keinginan” transit ke sebuah kota dengan mengingat perjalanan ‘kilas balik’ itu melalui sajak. Kita yang membaca sajak dalam proses kreatif sang penyair menjadi merindu, kasmaran bahkan menjadi mengingat-ingat akan kota yang digambaran melalui sajak itu.

Pemantik awal

Sitor mengaku saat remaja membaca buku “Melawat Ke Barat”  karya wartawan kondang Adinegoro. Buku yang berisi perjalanan-perjalanan yaang ditulis Adinegoro itu menjadi pengingat akan barat yang menjadi kiblat pengetahuan. Sitor mengingat, “Di masa remaja saya pernah membaca buku karangan Adinegoro, wartawan pioner  yang pernah bersekolah di Nederland di tahun 1920-an. Ia menulis cerita perjalanannya waktu  pertama kali  ke Eropa, yang di masa itu  berarti naik kapal laut menempuh perjalanan selama 6 minggu , lewat terusan Suez” (Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45, hal 120)  

Penyair menjadi mata membaca kota. Perjalanan-perjalanannya dimungkinkan dengan lahirnya puisi-puisi dengan kata sebgai simbol penyair yang ingin menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan. Suasana dan peristiwa, gambaran orang-orang yang bakal tercermin dalam syairnya justru membuat kita betah membaca biografis kota dari puisi.

Sitor yang hidup dengan imaji kampung dan kedekatannya dengan sang ayah sebagai kepala suku menjadikan sitor ingin hidup mengembara. Sitor ingat betul dengan filosofi ayahnya yang membuatnya ingin berkelana. Sejak kecil Sitor diajak ayahnya yang kepala suku itu mengembara dari desa ke desa lain. Menyusuri kampung ke kampung dan melewati pelbagai bukit. Disanalah Sitor mengerti, tugas kepala suku adalah pencatat sejarah. Perjalanan seorang ayah yang membawa keyakinan kepada Sitor telah mencipta imajinasi pengembara sekaligus pencatat sejarah.

Hidup Sitor ditengah pergulatan primodial kesukuan, kemerdekaan, perang, dan kota-kota yang merangkak menjadi modern menjadikan Sitor sebagai penyair yang banyak mempunyai banyak ingatan akan kampung halaman. Ajip Rosidi dalam kata pengantar buku “Sitor Situmorang Kumpulan Sajak 1948-1979” (Komunitas Bambu, 2006) menyebut Sitor sebagai penyair yang mempunyai banyak kampung halaman. Yogyakarta, Jakarta, Bali adalah kota yang mengembangkan imajinasinya. Di Asia kita akan menemukan kota ynag disingahinya di China maupun Jepang. Begitupula Eropa dengan Parisnya telah menghilangkan rasa hausnya akan kesusasteraan barat yang hanya didapatkan lewat membaca buku maupun berdiskusi.

Mari kita menikmati beberapa sajak Sitor yang menjadi kata kunci membaca kota. Dalam Sajak Pasar Senen Sitor kehilangan akan gadis “Aminah”. Suasana kesepiannya akan Aminah, berdialog dengan kawan-kawannya macam tukang becak, tukang delman, supir yang menjadi teman menikmati keindahan senyum Si Kebaya Merah. Terkadang kita masih menikmati di tempat-tempat pangkalan macam warkop masih berkumpul orang-orang melepas penat sehabis bekerja dengan menyeruput kopi dan memandang perempuan-perempuan. Di sanalah hidup apa yang dimaksud dengan gejala migrasi ke kota. A Teeuw mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair melalui sajak pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.

Ke mana kawan  semua
Supir, tukang delman
Teman berdampingan
Kita semua bersenda                                                          
Menampung senyuman
Si Kebaya Merah
Dari Kepulan asap merekah
Hai Tukang becak
Bilang padaku
Dewiku
Ke mana kau Bawa
(Sajak Pasar Senen)
Paris di Mata Sitor
            Paris sebagai kota kebudayaan selalu seksi di mata penyair. Wing Kardjo penyair yang membuat disertasi tentang Sitor Situmorang justru menyebut Paris sebagai kota yang dapat bicara tentang hidupnya. Wing Kardjo menganggap sajaklah yang dapat berbicara keras tentang hidup penyair dan jejaknya. Kita pun dapat membaca perjalanan penyair melalui jejak-jejak sajak itu. Kita simak sajak Sitor,

Inilah Paris, kota penyair
            Gua segala yang terusir 
Laut lupakan  sesah
Dalam dekapan satu wajah

(Paris Janvier,1953)
           
            Paris kota penyair. Kita menyadari betul konsep Paris yang kita duga adalah kota yang penuh cinta dan romansa. Seorang penyair macam Wing Kardjo menyindir dengan menyebut Paris sebagai kota yang dirindukan tetapi un mal aime yakni kota yang mirip dengan cinta yang jahat. Kita pun memandang kota yang penuh dengan clochard (gelandangan). Kota yang dihuni binatang serakah. Sitor pun menggambarkannya dengan,

            Kelupaan sebuah kota
            Di mana duka berwujud manusia
            Dan bahagia pada manusia tak punya
           
(Paris Janvier,1953)                                                                                                          

Kembali dalam esainya, “Paris Yang Dikenang Dan Yang Dilupakan” Sitor mengungkapkan Paris sebagai kota yang dikunjungi saat ia menjadi wartawan. Tahun 1952 Sitor berkesempatan menikmati “Pameran abad ke 20”. Sitor menulis, “Di saat itu saya merasa seakan-akan semua itu digelarkan demi memenuhi kebutuhan saya pribadi memuaskan kehausan saya “minum langsung dari sumbernya” (kesenian modern).”. Sitor pun mengenang Paris pada perjalannya di tahun 1952, 1957, 1964, 1977, 1981, 1986, 1989, dan terakhir 1991.

Penyair berkunjung dan hadir di kota yang pernah ia singgahi sebagai “kunjungan kilas balik” untuk mengenang tempat, suasana, maupun peristiwa. Penyair menjadi pencatat sebuah kota. Di perjalanann Sitor ke Paris tahun 1992 adalah hari istimewa bagi Sitor. Sebuah puisi  Apollinaire yang ia kutip, terbayang  Sitor akan penyair itu singgah di sebuah rumah dengan plaque tertulis,

plaque Dans cette maison
vecut et mourant
(janvier 1913-9 novembre 1918)
Le Poete Guillaume Apollinaire 

Seorang penyair hadir di kota bukan menjadi orang asing melainkan menjadi perantau yang mempunyai imaji setiap kota adalah kampung halamannya. Barangkali itu juga yang diyakini oleh Sitor. Restauran saat makan malam bersama temannya Francoise dan Jean, Sitor merasa bukan sebagai orang asing. Kilas balik ingatan saat pertama kali tinggal di Paris tahun 1952 pun terbayang. Kenangan akan eropa itulah yang dianggap Subagio Sastrowardoyo menempatkan Si anak hilang itu sebagai sosok yang eropa mesti ia pun kangen dengan kampung halamannya di Indonesia. “Hanya jasmani anak itu yang kembali ke tengah keluarga dan desanya, tetapi jiwanya masih tetap tinggal di eropa,” kata Subagio (Subagio,1980:100).

Di sebuah restaurant, Sitor mungkin bertemu dengan orang-orang baru, namun yang membuat Sitor kasmaran adalah mengingat puisi dan penyairnya. Seperti saat Sitor teringat akan Apollanaire dengan sajaknya hadir bersama di restauran itu. Ingat, penyair akan hadir di kota dan mengingat perubahan kota melalui imaji “kilas balik” melalui sajak. Barangkali setiap kota adalah kampung halaman bagi penyair. Sitor pun menulis sajak,

Akankah aku ikut latah?- berkata:
Paris Sudah berubah!
30 tahun kemudian, aku kini
kembali
di peron yang sama, hanya

Kau tak ada.
(Paris 1977 (chanson kecil) )


Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments

Di suatu diskusi yang diadakan Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) saya mengajukan Ni Jo Lan sebagai penulis sastra tionghoa peranakan yang patut untuk didiskusikan. Kita mungkin lupa, merayakan imlek bukan saja merayakannya dengan mengucapkan  Gon Xi Fa Coi di media sosial seperti Path, twitter, maupun facebook. Kita pun bisa merayakan imlek dengan berdiskusi buku-buku sastra tionghoa peranakan atau yang dikenal dengan sastra yinhua. Agar kegembiraan merayakan imlek melalui buku menjadikan kita waras dan tak amnesia tentang sejarah sastra peranakan Tionghoa-Indonesia.

Lan Fang (2012) dalam esainya “Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala” mengatakan sejak Inpres tahun 1967 sebagai politik orba, gairah sastra tionghoa peranakan mati suri. Lan Fang menganggap  sastra tionghoa peranakan pun ibarat mati segan  hidup pun tak mau. Kita mengenang  majalah  Xing Ho dan koran-koran Ta Kung Siang Po, sebagai tempat menulis.

Ni Jo Lan pernah menulis buku yang berjudul Sastera Indonesia Tionghoa (1957). Buku tersebut ditulis agar menjadi pengingat akan sejarah sastra yang ditulis orang-orang tionghoa peranakan. Ni Jo Lan dalam kata pengantarnya mengatakan,“hasil sastera itu merupakan tipifikasi suatu zaman jang sudah silam, sedjarah kemasjarakatan suatu golongan bangsa di Indonesia kita pada masa itu, dan alat penundjuk angan-angan jang hidup dalam golongan itu”.

Justru dari sastra itu Ni Jo Lan ingin mengajukan pembacaan sejarah Indonesia  melalui buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa. Ni Jo Lan percaya hasil karya sastra tionghoa peranakan meski “bahasanja miskin”, namun penuh dengan bahan-bahan pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman studi.   

Leo Suryadinata mengatakan Ni Jo Lan merupakan tokoh penting yang menulis tentang sejarah sastra tionghoa peranakan. Tahun demi tahun, Ni Jo Lan pun senyap karena jarang didiskusikan buku-bukunya. Pramoedya Ananta Toer-lah sastrawan Indonesia yang memulai memasukan karya-karya sastra peranakan tionghoa ini. Pram mengamini apa yang dikhawatirkan oleh Ni Jo Lan bahwa jika tidak ada penelitian lebih lanjut sastra tionghoa peranakan akan hilang begitu saja. Ni Jo Lan (1957) gelisah dengan menulis,“sastera  ini akan lenjap terseret arus sang Kala”. Ni Jo Lan banyak mengajukan penulis-penulis Tionghoa peranakan yang banyak menerbitkan karyanya sebagai pemuas dahaga akan bacaaan sastra tionghoa. 

Selain Ni Jo Lan, kita pun patut merujuk pada Djames Danandjaya. Djames Danandjaya pernah menulis tentang Folklor Tionghoa (2007). Djames Danandjaya menulis buku itu sebagai upaya mengobati amnesia sejarah. Menurut Djames Danandjaya suku bangsa  mayoritas Indonesia  mengalami hypnoticamnesia sedangkan suku bangsa Tionghoa adalah autohypnotic amnesia. Patut menjadi catatan adalah mengenai autohpynotic amnesia ini.

Djames mengatakan autohypnotic amnesia disebabkan oleh penguasa. Indoktrinasi yang dilakukan oleh penguasa Orba berupa pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, penggantian nama, pelarangan upacara di depan umum menyebabkan suku bangsa tionghoa melupakan jati dirinya. Dalam kata pengantar Djames Danandjaya menulis, “Akibat indoktrinisasi yang dilakukan secara sitematik itu, kebanyakan orang tionghoa karena patuh  pada politik pemerintah Orba dengan sadar atau tidak sadar telah melupakan jati dirinya” 

Di era reformasi Gusdur membawa angin segar bagi perkembangan sastra yinhua ini. Agus Setiadi (2010) dalam esainya “Geliat Sang Naga Dalam Pustaka” mencatat beberapa buku yang hadir menghias di toko buku setelah reformasi. Kita pun dapat mencatat novel-novel yang hadir menjadi referensi membaca sang naga dalam pustaka. Remy Sylado salah satu sastrawan yang rajin menulis novel bernuansa tionghoa. Kita bisa mnegingat karya-karaya Remy seperti Siau Ling Cau Bau Kan, Sam Po Kong Perjalanan Pertama. Ataupun karya terjemahan Pramoedya Annata Toer berupa Dewi Uban dan Opera Lima Babak.     


Kita mesti merayakan imlek dengan berliterasi. Menggalakan kembali membaca dan mendiskusikan buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa.  Djames Danandjaya mengingatkan kita bahwa orang tionghoa bukan hanya dikenang melalui jenis makanan macam: bakmi, tahu, tauco, dan sebangainya. Kita pun patut mengajukan referensi berupa buku-buku karangan penulis-penulis Indonesia-Tionghoa. Mengenang sekaligus menjadi mengobati penyakit amnesia sejarah.     

Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments

Jakarta sebagai ibu kota sering mendapatkan kritik dari orang-orang dengan pelbagai cara. Cap Jakarta sebagai kota langganan banjir serta termasuk kota yang tidak aman menghadirkan meme di media sosial. Meme pun hadir menjadi penghibur sekaligus kritik akan Jakarta.

Kita gampang tertawa melihat meme yang dihadirkan untuk sekedar hiburan dan mengundang tawa. Meme yang kita kenal selama ini merupakan plesetan berupa gambar dan kata dengan tujuan menghibur. Kita mengenal meme yang hadir sebagai kritik yang mengundang tawa. Richard Brodie (2014) dalam bukunya Virus Akal Budi : Ilmu Pengetahuan Baru Tentang Meme mengatakan meme dapat bekerja seperti virus. Meme dapat mempengaruhi perilaku dan pikiran orang-orang.

Abad 21 dalam dunia digital menghadirkan meme sebagai media kritik dan hiburan.  Kita jarang menghadirkan puisi sebagai penghibur dan renungan akan kota. Sebuah puisi juga sanggup berbicara dan bergelimang makna akan imajinasi kota. Ajip Rosidi dalam puisinya “Kepada Jakarta”(1955) memantik ingatan kita membaca kota. Melalui puisi itu Ajip memberikan gambaran melankolik,”Tiada nyanyi seduka Jakarta” barangkali menjadi kritik pada kota Jakarta. Penyair hadir menyemarakan sketsa kota melalui puisi. A Teeuw mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair melalui puisi pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.

             Puisi menjadi obat lupa ingatan akan sejarah. Puisi Zeffry Alkatiri misalnya sering menghadirkan imaji sejarah dengan menghadirkan tokoh-tokoh moncer macam Raffles, J.P. Coen, Mojen. Bandung Mawardi (2014)  menghadirkan Zeffry Alkatiri sebagai penyair yang mengamanatkan sejarah. Puisi menghadirkan imaji akan ingatan akan sejarah. Sebuah puisi dihadirkan menjadi mata yang awas akan perkembangan kota. Puisi menjadi renungan akan masalah sosial, ekonomi, politik. Melalui puisi penyair mengantarkan kita pada renungan akan kota.

            Puisi Zeffry Alkatiri berjudul, “Kapan Kau datang Lagi, Jaap” (2002-2005), menghadirkan tokoh-tokoh sejarah yang pernah mendirikan kota di Hindia Belanda. Dalam puisi itu, Zeffry membuat renungan dengan menulis, //oleh sebab itu, kirimkan kami J.P. Coen, Deandles //dan Mojen kembali//agar kami dapat belajar membangun beberapa kota//.

            Kita mengenang Deandels merupakan gubernur jenderal yang membuka Jalan Raya Pos. Jalan yang membuka gerbang kota-kota lain bermunculan seperti Bandung, Cirebon, Semarang. Emile  Leushuis (2014) menyebutkan bahwa Daendels jugalah yang memberikan perintah penataan kembali kota-kota penting di pesisir utara Jawa. Kini kita pun mengenang kota-kota pusaka semacam Jakarta, Cirebon, Bandung, dan Semarang sebagai warisan peradaban kota.

            Chairil Anwar membuat puisi yang meninggalkan jejak-jejak membaca kota. Chairil menghadirkan puisi-puisi yang berkisah tentang modernitas dalam kota. Marco Kusumawijaya (2008) menganggap Chairil sebagai penyair yang membaca kota. Marco menganggap di dalam ruang kota, sajak bisa bicara tentang zaman. Puisi pun menjadi ‘dokumentasi kata’ akan gerak perkembangan kota Jakarta yang merangkak menunju modernitas. Chairil dalam sajak “Aku Berkisar Pada Mereka” (1949) mengungkap kota melalui jalan, film, musik, lampu jalan dalam larik-lariknya sebagai rekam jejak kota Jakarta dalam sajak.  Persis  apa yang dikatakan Afrizal Malna bahwa para penyair dapat melihat perkembangan kota yang lebih progresif melakukan modernisasi melalui puisi.         

            Saat Jakarta diserang banjir kita melulu mengabarkan banjir melalu medai sosial. Lalu bercanda dengan gambar meme yang mengundang tawa. Mengunggah foto dan berkicau  mengenai banjir melaui facebook, path, maupun twitter. Justru kita rindu dengan puisi yang menjadi mata hati membaca kota. Kita mengabaikan peran puisi dalam memaknai kota. Puisi pun berhak dihadirkan menjadi lentera membaca kota. 

Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments