Kamis, 11 Juni 2015

Di masa depan masyarakat akan semakin luas terkoneksi lewat internet. Mereka mampu menembus batas geografis dengan hadir di dunia maya. Ini cukup memiliki telepon genggam berinternet. Kemudahan berbisnis masa depan tecermin dalam ramalan buku The New Digital Age yang ditulis Erich Schmidt dan Jared Cohen. Dunia telah memasuki era baru digital di mana kemudahan dan juga tantangan saling berkelindan.

Ada cakrawala baru dalam memandang negara, bisnis, dan hidup. Fenomena pemecah belahan internet akan terjadi akibat negara masuk mengaturnya terutama terkait keamanan negara. Setiap negara akan mengembangkan internet dengan penyaringan yang berbeda-beda sesuai kebijakan. Maka ke depan internet dunia menjadikan jejaring negara-negara saling terhubung dengan batasan dan kontrol.

Informasi akan mengalir bebas di dalam negeri, tetapi tidak melintas ke negara lain karena penyaringan, bahasa, atau sekadar preferensi pengguna (hal 85). Meskipun ada sensor yang membatasi pengguna internet, masyarakat akan saling terhubung. Pengunaan internet akan membuat taraf hidup meningkat di masa depan. Namun tantangan terberat dalam masa depan negara dalam era baru digital banyak perubahan terus-menerus terkait aksi-aksi terorisme. Negara tak boleh abai dengan kemungkinan-kemungkinan terorisme yang beradaptasi dengan teknologi informasi seperti internet dan telepon pintar. Ini bakal membawa wajah baru terorisme masa datang.

Buku secara khusus mem- bahas masalah terorisme dan keamanan suatu negara di bab lima. Teknologi adalah alat ampuh untuk berbagai kepentingan, termasuk oleh para teroris. Masih segar dalam ingatan saat ISIS menggunakan Youtube mengirimkan ‘pesan’ melalui video- video. Di daerah konflik seperti Irak, teroris mampu membuat bom telepon genggam hanya dengan modus getar. Kini kehadiran internet dan telepon genggam yang semakin canggih akan membuat teroris memanfaatkannya untuk tindak kejahatan.

Teroris akan mengalihkan operasi ke ranah maya dan memadukannya dengan serangan dunia nyata (164). Para teroris akan makin gencar menyusup ke perusahaan seluler dan internet (167). Buku ini membuka cakrawala baru masa depan. Masyarakat akan mengakses internet semakin mudah.
Di era baru digital manusia ditantang beradaptasi akan perubahan cepat dalam bisnis, hidup, dan bersosialisasi. Pemahaman mengenai internet mesti diinstal ulang. Sebab kemudahan bisa saja memunculkan kejahatan- kejahatan dan terorisme. Mesti begitu, era baru digital adalah zaman di mana mayoritas penghuni dunia akan diuntungkan oleh konektivitas, mengalami efisiensi, kesempatan baik, serta taraf hidup meningkat.

 Diresensi Rianto, lulusan Universitas Negeri Jakarta. Tulisan ini masuk di Koran Jakarta 10 Ju

ni 2015




Posted on Kamis, Juni 11, 2015 by Rianto

No comments

Sabtu, 06 Juni 2015

Mei '98 adalah tragedi kolektif yang terus mengundang ingatan dan perayaan seremonial. Kini kealpaan akan ingatan tentang tragedi Mei 98 itu berujung pada pembangunan prasasti. Kita berpengharapan dengan adanya prasasti akan menjadi obat mujarab untuk terus menjaga ingatan memorial kolektif atas tragedi Mei 98. Monumen diharapkan juga sebagai simbol perlawanan akan amnesia sejarah. Ahok dijadwalkan meresmikan prasasti Mei 98  yang di bangun di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta (Republika, 12 Mei 2015).

  Ingatan kita mengenang sejarah dengan pembangunan monumen ataupun prasasti  selalu merujuk pada cara Soeharto. Soeharto tampil sebagai pahlawan dalam menumbangkan orde lama dengan meninggalkan jejak-jejak kepahlawanannya melalui pembangunan monumen dan prasasti. Saat Soeharto tumbang warisan simbol-simbol itu masih ada. Kita pun ditinggalkan warisan berupa monumen pahlawan revolusi jenderal-jenderal  yang dihabisi oleh PKI di Lubang Buaya. Tidak hanya itu, ingatan akan “jasa” Soeharto pun menjelma pada monumen, museum, pendirian Taman Mini, dan juga penamaan jalan-jalan yang berlabel militeristik.

 Dua tahun sebelum tragedi Mei 98, Soeharto masih sempat meninggalkan ingatan. Dalam buku 50 tahun Indonesia Merdeka (1997) menampilkan rekam jejak kepahlawanan ala Soeharto menumpas PKI.  Sekaligus menghimpun foto-foto yang melabelkan beliau sebagai pahlawan tragedi 65 serta pelabelan sosok Soeharto sebagai bapak pembangunan. Konon di sana kita terpaksa mengingat Soeharto yang selalu ditampilkan hadir membuka peletakan dan peresmian sebuah proyek pembangunan. Kita pun patut meyakini seremonial  ingatan mengenai tragedi dengan mendirikan dan peresmian berupa monumen, prasasti,  adalah sisa-sisa cara berpikir “Orde Baru ala Soeharto” untuk menertibkan ingatan pikiran kolektif. Kita mesti ingat Soeharto berkuasa, banyak menghasilkan sastra perlawanan berupa puisi, cerita pendek, novel.

Kita mesti eling sejarah tanpa harus mengingat dengan prasasti. Widji Thukul tokoh yang hilang dalam tragedi 98 justru mengingat kekejaman militer saat itu melalui puisi. Widji Thukul sadar puisi lebih sangar dibanding harus membangun prasasti. Widji Thukul mengingatkan kita akan dengan puisi,//ingatan rakyat serupa bangunan candi//kekejaman penguasa setiap jaman//terbaca di setiap sudut dan sisi yang menjulang tinggi// (Apa Penguasa Kira, Tempo 2013). Di zaman Soeharto berkuasa Widji Thukul juga terbilang aktivis yang rajin menulis puisi di selebaran mahasiswa, koran, buletin, dan sebagainya. Widji Thukul juga mengurusi cetakan buletin Ajang dan Suara Kampung. Pilihan literatif lebih dipilh dibanding seremonial.

Martin Alieda menghimpun ingatan-ingatan dan suara para eksil akan tragedi 65 melalui kumpulan cerpennya Leontin Dewangga (2003). Dalam cerpennya Leontin Dewangga, Malam Kelabu, Ode untuk selembar KTP justru menampilkan wajah militer berlatar tragedi 1965. Seno Gumira Ajidarma sastrawan cum wartawan juga mengenang tragedi melalui cerita-cerita pendek yang digubahnya dari sebuah tragedi kemanusiaan. Senogumira dalam cerpennya Aku Pembunuh Munir (2013) mengabarkan melalui sastra proses mengingat akan susahnya mengungkap pelaku pembunuh aktivitis Munir. Sastra mesti bersuara. Melalui sastra lebih bersuara ketimbang membangun prasasti.

Mengenang ingatan melalui prasasti justru mengungkapkan kemunduran dan pengaminan cara berfikir Soeharto yang menertibkan ingatan dengan membangun monumen, prasasti, museum. Kita lebih terhormat memilih menjaga ingatan dengan membaca puisi-puisi Widjhi Thukul dibanding harus mengikuti upacara seremonial pembangunan prasasti tragedi Mei 98. Jika Soeharto berkuasa tampil sastra-sastra perlawanan. Justru di zaman reformasi ini kita malah menampilkan prasasti sebagai ingatan kolektif.  

Tulisan ini masuk di Koran Berita Bekasi (04/06/2015)


Posted on Sabtu, Juni 06, 2015 by Rianto

No comments