beberapa koleksi buku di rumah
November lalu saya bertemu dengan Romo Mudji. Saat itu Romo Mudji sedang duduk-duduk di ruang tunggu kuliah Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dengan Romo Mudji saya pun mengobrol mengenai sejarah, pendidikan, buku, budaya tulis-menulis dan lain sebagainya. Satu hal yang tak lepas saat bertemu Romo Mudji adalah peristiwa berbagi buku. 

Saat ngobrol santai itu, Romo berbicara mengenai pemaknaan ulang mengenai hari guru.  Saya pun berujar mengenai ingatan guru yang tak lagi berumah buku. Ingatan-ingatan guru  tak berumah buku itu adalah ingatan generasi kami yakni generasi digital. Dalam ingatan kami mengenai guru adalah mereka yang bermobil dan bermotor dan bergadget. Di rumahnya guru yang kita ingat adalah televisi bukan buku-buku. Ingatan itu berdasarkan obrolan dan diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saya pun berucap kepada Romo, “Mungkin itu ingatan kami mengenai guru-guru yang di kota”
  
Romo Mudji mengajak saya untuk mendiskusikan mengenai ingatan guru itu di dengan mahasiswa S3 Pasca Sarjana UNJ.  Kebetulan Romo memang mengajar filsafat pendidikan dan kebudayaan di Pasca Sarjana UNJ. Mengapa obrolan ringan mengenai ingatan guru ini menjadi penting? “Ini terkait dengan proses konsientisasi (penyadaran) mengenai pendidikan dan kebudayaan,” kata Romo.  

Guru pantas diingat dan dikenang. Romo Mudji berujar mengenai pemaknaan guru bermula dari ingatannya mengenai guru-guru di masa silam. Kini kita mendapati penghormatan guru melalui sertifikasi yang klise. Oleh karena itu kita akan mendapati guru profesional dan guru kebudayaan. Yang pertama adalah guru yang dihasilkan dari proses serangkaian pengumpulan sertifikat, tes, pengujian, dan penilaian. Yang kedua adalah guru yang sudi ikhlas mengajar berbagi pengetahuan dengan “membaca” dengan hati melalui serangkaian peristiwa pemaknaan hidup.  
Bagi Romo Mudji ingatan mengenai  guru kebudayaan adalah ketika ia mengingat masa kecilnya naik turun tangga di Borobudur. Di sana ada guru yang sudi mengingatkan kepadanya mengenai pembacaan makna relief-relief di batu-batu dan pemaknaan perjalanan Shidarta Gautama. Cerita dan kisah itu dicatat dan membekas melalui ingatan.

Kini ingatan berbeda tentang guru bagi kami sebagai generasi digital yang menganggap guru adalah yang mengajak kita untuk membaca dengan cara merekam dan berfoto melalui serangkaian kegiatan bernama “Study Tour”. Lalu dibekukan lewat Instagram, Facebook dan Twitter. Kini ingatan guru yang dirasakan Romo Mudji sebagai guru kebudayaan semakin menghilang.

buku yang diberikan Romo Mudji
 Di Abad 21 Kita mengingat guru profesional yang masih terbelenggu dengan gaya dan metode dalam mengajar. Ingatan mengenai guru-guru profesional kita hari ini adalah guru yang tak berumah buku. Guru kita yang disibukan dengan pengejaran sertifikasi, cap,  silabus, dan juga RPP. 

Guru-guru kita akan memadati seminar-seminar hanya demi selembar sertifikat. Sertifikat yang dibutuhkan demi pemberkasan. Sehingga guru kita disibukan dengan formulir dan penghambaan terhadap gaji. Dalam kacamata profesionalitas itu kita mendapati guru yang hebat adalah guru yang lulus ujian kompetensi atau yang disebut dengan  Uji Kompetisi Guru (UKG).

Guru Berbuku
Kisah guru hari ini adalah cerita mengenai guru honorer yang belum dibayar gajinya. Di koran-koran kita masih mendapati guru-guru yang berdemo untuk disegerakan menjadi PNS. Miris sekali ada oknum yang menjual buku-buku yang ada di perpustakaan untuk diloakan, dibuang dan dilebur. Di abad 21 guru hidup di mana buku tak lagi menjadi bacaan mulia. Membeli buku tak pernah menjadi prioritas dalam hidup ditengah sibuknya berkredit mobil dan motor.  

Kita jarang mendapati guru yang berbuku. Membaca banyak buku dan berkisah kepada murid-muridnya. Mengajak muridnya menyelami makna hidup dengan kisah-kisah dari buku-buku. Mengajak muridnya ke toko buku. Memaknai peristiwa membeli buku menjadi penting sebagai pengembangan imajiinasi. Kita kesulitan berimaji guru yang mau memenuhi rumahnya dengan buku. Kita jarang mendapati guru mengajak muridnya main ke rumah mengobrolkan buku. 

Di koran-koran kita hari ini, ingatan tentang guru adalah adalah upacara penghormatan guru melalui  ‘Simposium Guru’ yang dihadiri oleh Jokowi dan Anies Baswedan nan megah. Sekaligus penghadiahan guru-guru berprestasi melalui selembar sertifikat. Semakin bersedih dan pilu jika kita jika penghormatan hari guru seperti ini. 

Di hari guru sekolah-sekolah guru berupacara memperingati guru. Kita jarang mendapati guru berupacara sunyi dengan buku-buku di rumahnya. Ketika kita masuk ke rumah guru, kita hanya mengingat televisi, kulkas, dan kipas angin. Kita merindukan guru yang mengisi rumahnya dengan buku-buku. Kita rindu bergurau sambil berdiskusi mengenai buku di rumah guru yang berbuku. Kita jarang diajak bermesraan dengan buku-buku di rumah guru yang berbuku. 

Kita meyakini mentalitas suatu bangsa ada di tangan guru. Mentalitas yang dibentuk dari imaji buku-buku yang guru baca. Guru-guru kita jangan sampai terpenjara imajinasinya hanya karena tak berbuku. Kita mendapati guru yang bergaji tapi enggan membeli buku-buku. Oh guru.....

*Esai ini masuk di koran Radar Bekasi