5 Desember puluhan orang berkumpul di De Rivier Hotel (eks Hotel Batavia Jakarta) berdiskusi dan mengurusi sejarah. Seminar untuk memperingati hari sejarah yang jatuh pada tanggal 14 Desember itu dihadiri oleh guru-guru sejarah pelbagai daerah, akademisi, peneliti, sejarawan dan mahasiswa.  Berkumpul mengamini sebagai bangsa yang tak lupa dengan sejarah

Sejarah berisi pelbagai ingatan tentang tokoh, tempat, dan peristiwa. Sejarah memerlukan penjelasan dan pemaparan demi pemahaman. Mengundang tokoh-tokoh moncer macam Goenawan Mohamad, Mudji Sutrisno, Anhar Gonggong, Ahmad Tohari, Taufik Abdullah, Ahmad Syafii Maarif, sebagai pembicara guna memantik ingatan akan peristiwa sejarah Indonesia.

Sejarah memang tak akan selesai  diurusi melalui mimbar seminar dan diskusi seharian. Sejarah adalah pengembaraan panjang proses ingatan mentalitas bangsa. Sejarah perlu dimaknai sebagai perjalanan mentalitas bangsa. Mudji Sutrisno sebagai pembicara utama mengingatkan akan kerja manusia sebagai Homo Magnificer, manusia adalah makhluk penafsir makna. Dalam sejarah, manusia hadir menjadi pembaca dan penafsir teks sejarah beserta konteks sejarah itu lahir.

Oleh karena itu, saat Mudji menunjukkan kepada peserta sebuah bingkai foto Presiden Soekarno yang tersenyum di sebuah kantor, di dinding kantor Sang Putra Fajar itu penuh dengan lukisan, apa makna dibalik itu semua? Apakah Soekarno bisa dibilang penikmat estetika? Di sinilah fungsi sejarah sebagai penjelas tafsir makna teks dan konteks sejarah. Sejarah adalah menamai dan menggali ingatan akan peristiwa, tokoh,  waktu dan tempat. Mentalitas sejarah dengan proses menafsir. Membaca sejarah berarti berani menafsir sejarah dalam bingkai kekuasaan.

Mudji Sutrisno mengatakan sejarah mentalitas berada  di jalan tengah. Sejarah yang mau menuliskan tidak hanya peristiwa dari kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukan pola struktur nilai bingkai makna yang memberi roh strukturalisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi pelaku-pelakunya, baik individual maupun kolektif.

Barangkali seminar diajukan sebagai cara mengingat akan pentingnya percakapan mengenai sejarah. Goenawan Mohamad mengartikan sejarah sebagai percakapan yang tak pernah selesai. Pernyataan Goenawan mengenai sejarah yang puitis itu menggugah ingatan kita untuk mengurusi sejarah yang tak akan pernah selesai dibicarakan, disanggah, dan disepakati.

Belajar dari punggawa-punggawa pembentuk imaji bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dapat ditemui mentalitas sejarah yang dalam bahasa Benedict Anderson “komunitas terbayang”. Mereka berani membayangkan Hindia Belanda akan menjadi bangsa yang merdeka. Mentalitas mengikis sifat kuli, budak, tunduk, lemah, inlander,dibicarakan melalui diskusi-diskusi sunyi maupun terbuka diingat kembali melalui tulisan-tulisan yang tersebar dan dicetak berupa risalah- risalah, buletin, stensilan, buku, dan koran-koran. Revolusi cetak mendukung gagasan tersebar menjadi suluh yang tak pernah padam mengenai kemerdekaan. Muncullah apa yang disebut Pertja Selatan, Bintang Hindia, Medan Prijaji, Fadjar Asia menjadi alat penebar gagasan-gagasan Indonesia merdeka.

Kita meyakini sejarah hari ini hadir dan besar dari rahim sejarah versi penguasa. Sejarah dimuat dan ditulis oleh yang menang. Sebab itu sejarah selalu menunjukan kekuasaan. Goenawan Mohamad mencontohkan sejarah 65 yang penuh kontroversi dan perlunya proses rekonsiliasi.

Guru dan Rekonsiliasi

Sejarah perlu proses rekonstruksi dan rekonsiliasi. Agar sejarah tidak menjadi doktrin dan alat melanggengkan kekuasaan. Sejarah bisa berawal dari ketakutan. Di dalam tanya jawab seminar,  seorang guru sejarah curhat mengenai penarikan buku paket pelajaran sejarah di sekolah. Konon buku ditarik akibat bercover salah satu tokoh PKI. Buku ditarik dan dicetak kembali menggunakan dana BOS.

Di sini sejarah dapat diartikan sebagai ruang mempelajari sekaligus berdamai dengan ketakutan akan masa lalu. PKI masih menjadi hantu yang ditakuti dan membayang akan sejarah kelam kita. Goenawan mengatakan Orde Baru menjadikan sejarah adalah sebuah distorsi. Kini diperlukan kerja meneliti sejarah yakni menulis mengenai sejarah apa “yang dilupakan” yang lepas dari narasi sejarahnya.

Kita meyakini guru menjadi garda terdepan dalam mengatasi sejarah distorsi ini. Ibarat pemahat, guru adalah pemecah batu sandungan sejarah sehingga ada proses mempelajari sejarah untuk berani menafsirkan kekuasaan. Anhar Gonggong mengatakan guru (sejarah) adalah orang yang berhadapan dengan masa depan. Masa depan rekonsiliasi ada di tangan guru.

Kita mengingat film garapan Joshua Oppenheimer, Senyap The Look Of Silence (2014) ada seorang guru yang mengajarkan kebencian tentang sejarah 65 di kelas. Guru mengajarkan ketakutan akan sejarah kepada anak SD. Sejarah menjadi alat menebar kebencian. Ariel Heryanto (2015)  dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, menunjukan film sejarah sebagai media melanggengkan kekuasaan. Penelusuran mentalitas sejarah melalui film  sebagai upaya rekonsiliasi sejarah melalui budaya layar kaca.

Proses rekonsiliasi mengenai sejarah kelam 65 membutuhkan peran guru. Guru tak melulu mengandalkan buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) saat mengajar sekolah. Guru bisa mengajar sejarah  melalui buku-buku sastra.

Kehadiran Ahmad Tohari dalam seminar sejarah seperti hujan yang mengademkan tanah yang kering. Guru-guru sejarah kita mungkin khilaf mempelajari sejarah hanya bermodalkan buku paket dan LKS yang berisi ringkasan-ringkasan sejarah. Kita lupa dengan peran sastra dalam menjelaskan sejarah.

Melalui sastra Ahmad Tohari mengingatkan akan pembacaan sejarah melalui karya sastra seperti novel. Dongeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari justru menjadi teks membaca kisah 65. Tohari menjelaskan sastra justru memperkaya pelajaran sejarah. Tohari mengingatkan, “menulis Ronggeng Dukuh  Paruk adalah menebus hutang para wartawan dan para pengamat yang takut mengangkat pena.” Sastra lebih berbicara dibanding buku sejarah yang dicetak dan dibagikan “gratis” atas nama negara dan penguasa.

Akhirnya, kita semua, peneliti, mahasiswa, akademisi, serta guru mesti eling, mempelajari sejarah demi rekonsiliasi mengenai sejarah 65 bisa dimulai dengan diskusi karya sastra di kelas. Rekonsiliasi memang dimulai dengan kemauan membaca dan mendengar nurani yang terlupakan di dalam buku-buku sejarah, film, maupun karya sastra. Sore itu mendung, peserta seminar diajak keliling membaca bangunan sisa kolonial di Kota Tua Jakarta.